Jumat, 08 November 2019





ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUN

Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbentuk badan hukum.
Bidang Jasa Kosntruksi merupakan bidang yang utama dalam melaksanakan agenda pebangunan nasional. Jasa Konstruksi sebagai salah satu bidang dalam sarana pembangunan, sudah sepatutnya diatur dan dilindungi secara hukum agar terjadi situasi yang objektif dan kondusif dalam pelaksanaannya. Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum :
1.     Keperdataan : menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
2.     Administrasi Negara : menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
3.     Ketenagakerjaan : menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
4.     Pidana : menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.

Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :

1.                  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.                  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
3.                  Suatu hal tertentu;
4.                  Suatu sebab yang diperkenankan.

Konrak dalam jasa konstruksi harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif tersebut.

PERMASALAHAN UKUM DALAM JASA KONSTRUKSI
1.         HUKUM PERDATA
Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu : – Karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian – Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak bersalah. Perbuatan Melawan Hukum adalah ; perbuatan yang sifatnya langsung melawan hukum, serta perbuatan yang juga secara langsung melanggar peraturan lain daripada hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum, yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya ditafsirkan secara sempit.

2.         HUKUM PIDANA
Secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi (saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain yaitu denda

3.         PIDANA KORUPSI
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara. Kemudian institusi yang berhak untuk menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

4.         HUKUM ADMINISTRATIF
– Peringatan tertulis
– Penghentian sementara pekerjaan konstruksi
– Pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi
– Larangan sementara penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
– Pembekuan Izin Usaha dan atau Profesi – Pencabutan Izin Usaha dan atau Profesi




KLAIM KONTRAK KERJA KONSTRUKSI

Klaim konstruksi adalah  permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara penyedia jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang bisaanya mengenai permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain.

Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang-kurangnya harus mencakup uraian adanya:

1.                  para pihak
identitas para pihak yang berkontrak. Syarat ini lazim ditemukan dalam kontrak-kontrak lain karena harus jelas siapa subjek yang melakukan hubungan hukum tersebut. Identitas setidak-tidaknya memuat nama, alamat, kewarganegaraan, domisili, dan kewenangan membubuhkan tanda tangan.
2.                  isi atau rumusan pekerjaan
rumusan pekerjaan. Bagian ini harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai apa yang akan dikerjakan, lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu proyek. Dalam praktik, penambahan waktu pekerjaan tetap dimungkinkan asalkan disepakati lebih dahulu para pihak.
3.                  jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
masa pertanggungan dan/atau pemeliharaan, yang memuat jangka waktu pertanggungan atau pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa. Syarat ini berkaitan dengan asuransi proyek konstruksi, dengan asumsi ada kemungkinan kegagalan atau kejadian di luar perkiraan.
4.                  tenaga ahli
gambaran tentang tenaga ahli, baik mengenai jumlah, kualifikasi keahlian, dan klasifikasi pekerjaan jasa kontruksi yang akan dilakukan.
5.                  hak dan kewajiban para pihak
hak dan kewajiban para pihak. Misalnya, di satu sisi pengguna jasa berhak untuk memperoleh hasil konstruksi; di sisi lain berkewajiban memenuhi isi perjanjian seperti membayar penyedia jasa.
6.                  tata cara pembayaran
cara pembayaran. Dalam kontrak harus diatur bagaimana pembayaran proyek dilakukan. Bisa jadi ada kemungkinan pembayaran di muka, memakai cicilan, harus menggunakan bank, dan lain-lain. Klausula ini memberikan kepastian kepada para pihak.
7.                  cidera janji
aturan mengenai cedera janji (wanprestasi). Kontrak harus memuat tanggung jawab salah satu pihak jika isi perjanjian tidak dilaksanakan sesuai apa yang disepakati. Penting juga memuat apa yang masuk lingkup cedera janji.
8.                  penyelesaian tentang perselisihan
klausula penyelesaian sengketa. Kontrak harus memuat mekanisme penyelesaian sengketa yang akan ditempuh para pihak jika terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa jasa konstruksi bisa lewat pengadilan atau penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement).
9.                  pemutusan kontrak kerja konstruksi
pemutusan kontrak kerja konstruksi. Jika salah satu pihak tidak menyelesaikan kewajiban, terbuka peluang pemutusan kontrak secara sepihak. Dalam konteks ini, kontrak jasa konstruksi sebaiknya memuat ketentuan pemutusan kontrak kerja.
10.              keadaan memaksa (force majeure)
kondisi-kondisi yang dikualifikasi sebagai keadaan memaksa atau force majeur. Ini adalah kejadian yang timbul di luar kehendak para pihak dan menimbulkan implikasi pada pekerjaaan jasa konstruksi. Misalnya, banjir atau gempa bumi.
11.              tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
klausula mengenai kegagalan bangunan. Isinya tentang kewajiban para pihak (penyedia jasa dan pengguna jasa) jika terjadi kegagalan bangunan.
12.              perlindungan tenaga kerja
klausula mengenai perlindungan pekerja. Para pekerja yang mengerjakan jasa kontruksi seharusnya dilindungi dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja. Klausula ini bisa merujuk pada UU Ketenagakerjaan dan peraturan keselamatan kerja.
13.              perlindungan aspek lingkungan.
klausula mengenai pemenuhan kewajiban yang berkenaan dengan lingkungan, seperti Amdal.
Khusus menyangkut dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.





KONTRAK FIDIC

FIDIC adalah singkatan dari Federation Internationale Des Ingenieurs-Conseils (International Federation of Consulting Engineers) yang berkedudukan di Lausanne, Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh negara-negara Perancis, Belgia dan Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC merupakan perkumpulan dari assosiasi-assosiasi nasional para konsultan (Consulting engineers) seluruh dunia. Organisasi konsultan internasional, FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Conseils), sebenarnya sudah membuat standard kontrak jasa konstruksi yang lazim dipakai di banyak negara. FIDIC Conditions of Contract terus diperbarui dan mengalami revisi, disesuaikan dengan perkembangan. Pengamat hukum jasa konstruksi, Sarwono Hardjomujadi, mengatakan kontrak-kontrak jasa konstruksi di Indonesia sudah banyak mengakomodasi ketentuan FIDIC.
Kontrak FIDIC adalah bentuk standar yang paling umum digunakan kontrak konstruksi internasional di dunia saat ini. Kontrak FIDIC standar yang sering digunakan dalam kedua proyek konstruksi besar dan kecil, dan mereka cocok untuk pihak dari kebangsaan yang berbeda, berbicara bahasa yang berbeda dan berasal dari yurisdiksi yang berbeda. FIDIC memiliki beberapa tipe kontrak:
  1. FIDIC Buku Merah adalah standar, dan yang paling umum digunakan, bentuk kontrak konstruksi di semua proyek di mana desain yang disediakan oleh Pemberi Kerja, mengikuti rute pengadaan tradisional Desain, Bid dan Build. Kontraktor dibayar secara pengukuran untuk jumlah sebenarnya pekerjaan yang dilakukan. Jumlah Kontrak yang diterima didasarkan pada jumlah diperkirakan.
  2.  FIDIC Buku Kuning, adalah kontrak standar di mana desain dilakukan oleh Kontraktor. Buku Kuning juga dikenal sebagai kontrak Tanaman dan Design-Build. Kontraktor biasanya dibayar secara lump sum.
  3.  FIDIC Buku Perak diterbitkan. Buku Perak digunakan untuk proyek-proyek EPC / Turnkey mana mayoritas risiko dialokasikan kepada Kontraktor. Desain dilakukan oleh Kontraktor dan pembayaran biasanya secara lump sum.
  4. FIDIC Buku hijau, yang merupakan kontrak bentuk pendek ditujukan untuk proyek-proyek yang relatif kecil yang bersifat berulang atau durasi pendek di mana Majikan menyediakan desain. Berdasarkan pedoman FIDIC, USD 500,000 dan 6 bulan dianggap sebagai batas yang wajar pada modal dan durasi untuk proyek-proyek di mana bentuk Buku Hijau digunakan
  5. FIDIC Buku emas, edisi pertama Kitab Emas diterbitkan di 2008 dan didasarkan pada desain khas dan membangun bentuk kontrak di mana masa operasi dan pemeliharaan telah ditambahkan. Buku Emas mencakup berbagai kompleks layanan yang berbeda dan dimaksudkan untuk berlanjut setelah masa 20 tahun di mana pihak-pihak yang berniat untuk memperpanjang kerjasama mereka sepanjang durasi proyek.
  6.     FIDIC Blue Book, kontrak diterbitkan di 2006 dan merupakan bentuk kontrak untuk pengerukan, reklamasi dan pekerjaan konstruksi tambahan dengan berbagai macam pengaturan administrasi.
Jenis Kontrak yang akan dipilih oleh Pemberi Kerja atau pihak tergantung pada kebutuhan masing-masing proyek dan kepentingan Majikan dan preferensi siapa yang harus bertanggung jawab atas desain.
Semua Kontrak FIDIC memiliki fitur umum tertentu dan mengakui perlunya pendekatan yang seimbang antara peran dan tanggung jawab pihak yang terlibat, serta alokasi seimbang dan manajemen risiko. Semua dari mereka terdiri dari Syarat Umum Kontrak yang (“GCC”), yang dianggap cocok dalam semua kasus, dan Ketentuan khusus Kontrak (“PCC”), di mana para pihak dapat menentukan isu-isu spesifik proyek atas dasar kasus per kasus. Semua Kontrak FIDIC juga termasuk aturan untuk adaptasi jumlah kontrak yang telah disepakati dan aturan untuk perpanjangan waktu untuk penyelesaian dan variasi prosedur. Kebanyakan bentuk FIDIC menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa multi-tier. Tergantung pada jenis kontrak FIDIC, metode yang paling umum-digunakan untuk penyelesaian sengketa.






DISPUTE (SENGKETA)

                       Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat disebut construction dispute. sengketa konstruksi yang dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang perdata yang menurut UU no.30/1999 Pasal 5 diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase atau Jalur Alternatif Penyelesaian Sengketa.
                  Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah satu Dalam tahapan penyelenggaraan bangunan, selain harus mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah juga harus mengikuti peraturan yang telah disepakati bersama dan dituangkan dalam kontrak. Sengketa dapat terjadi di antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, dan sengketa yang terjadi harus segera diselesaikan dan tidak menghambat tahapan penyelenggaraan bangunan.pihak telah melakukan tindakan cidera (wanprestasi atau default).
Penyebab sengketa konstruksi dan jenis penyelesaian serta lembaga penyelesaian sengketa konstruksi sebagai berikut:
1.      Jenis sengketa
Jenis sengketa adalah perubahan kontrak yang diminta (klaim) secara tertulis, yang diajukan oleh salah satu pihak pada pihak lain sebagai kompensasi atas “kerugian” atau ketidaksesuaian implementasi suatu kontrak konstruksi. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai jenis sengketa, jenis sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 4 jenis sengketa yaitu:
a)      Biaya:
·         Perubahan nilai kontrak
·         Perubahan harga satuan pekerjaan
·         Perubahan nilai angsuran pembayaran
b)      Waktu:
·         Perubahan waktu kontrak
·         Perubahan jadwal kegiatan
·         Perubahan jadwal pembayaran
c)      Lingkup pekerjaan:
·         Perubahan jenis pekerjaan
·         Perubahan volume
·         Perubahan mutu/kualitas
·         Perubahan metode pelaksanaan konstruksi
d)      Gabungan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan (jasa)
·         Kombinasi perubahan biaya dan waktu
·         Kombinasi perubahan biaya dan lingkup pekerjaan
·         Kombinasi perubahan waktu dan lingkup pekerjaan
·         Kombinasi perubahan biaya, waktu dan lingkup pekerjaan

2.      Penyebab sengketa
Penyebab sengketa adalah sumber timbulnya permintaan kompensasi secara tertulis atas “kerugian” atau ketidaksesuaian implementasi suatu kontrak konstruksi oleh salah satu pihak pada pihak lain. Sengketa dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 9 (Sembilan) penyebab sengketa sebagai berikut:
a)         Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan:
·           Pemberian izin
·           Permintaan izin
·           Tidak adanya izin
b)         Penyebab sengketa berkaitan dengan surat perjanjian kerjasama (kontrak):
·           Isi surat kontrak tidak jelas
·           Isi surat kontrak tidak lengkap
c)         Penyebab sengketa berkaitan dengan persyaratan kontrak:
·           Isi persyaratan kontrak tidak jelas
·           Isi persyaratan kontrak tidak lengkap
d)         Penyebab sengketa berkaitan dengan gambar:
·           Gambar rencana tidak jelas
·           Gambar rencana tidak lengkap
·           Gambar kerja tidak jelas
·           Gambar kerja tidak lengkap
e)         Penyebab sengketa berkaitan dengan spesifikasi:
·           Spesifikasi tidak jelas
·           Spesifikasi tidak lengkap
·           Perubahan spesifikasi
·           Persyaratan spesifikasi tidak memungkinkan untuk dilaksanakan
f)          Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB):
·           RAB tidak jelas
·           RAB tidak lengkap
            Pengukuran hasil pekerjaan
g)         Penyebab sengketa berkaitan dengan administrasi kontrak:
·           Berita acara
·           Laporan
·           Foto/film
h)         Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi lapangan:
·           Kondisi lapangan tidak sesuai denngan kontrak
·           Perubahan kondisi lapangan
·           Kondisi lapangan tidak memungkinkan
i)          Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi eksternal:
·           Perubahan kebijakan pemerintah
·           Perubahan harga atau biaya
·           pendanaan


3.         Jenis penyelesaian sengketa
Secara umum jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan (cara litigasi) yaitu (UU RI nomor 18 tahun 1999; UU RI nomor 30 tahun 1999)
a)      Negosiasi
Negosiasi dapat diartikan sebagai suatu upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis dan kreatif. Negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga namun memerlukan orang yang tepat untuk bernegosiasi.
b)     Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersifat netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
c)      Konsiliasi
Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak dengan menyerahkannya kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang bertindak sebagai konsiliator. Peranan konsiliator yaitu menyusun dan merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak.
d)     Arbitrase
Arbitrase adalah perjanjian perdata dimana para pihak sepakaat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh seorang ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjukan pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. Badan arbitrase terdiri dari arbitrator yaitu pengacara, kontraktor, konsultan (engineer) dan konsultan hakim. Arbiter harus memiliki pengetahuan bidang konstruksi dan memahami permasalahan sengketa yang dihadapi.
4.     Lembaga penyelesaian sengketa
Lembaga penyelesaian sengketa adalah lembaga yang dapat membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi. Lembaga penyelesaian sengketa menurut Soekirno, 2006; Widjaja, 2002; Emirzon, 2001; Margono, 2000 yang dikutip dari Mutiara, 2006 adalah sebagai berikut:
1.    Negosiator
2.    Mediator
3.    Konsiliator
4.    Lembaga Arbitrase


PENYELESAIAN SENGKETA TAMBANG: STUDI KASUS SENGKETA ANTARA MASYARAKAT SAMAWA DENGAN PT. NEWMONT
NUSA TENGGARA
  1. Latar Belakang Masalah

Provinsi Nusa Tenggara Barat merupakan provinsi yang kaya akan sumber daya alam tambang. Sumber daya alam itu, meliputi emas, tembaga, perak, dan lain-lain. Sumber daya alam itu terdapat di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat dan Elang Dodo, Kabupaten Sumbawa. Untuk mengelola sumber daya alam  tambang  itu, Pemerintah telah menunjuk PT. Newmont Nusa Tenggara, sebagai kontraktor pemerintah. Penunjukan itu didasarkan atas dokumen kontrak karya yang  telah  ditandatangani  pada  tanggal  2 Desember 1986. Kegiatan eksplorasi di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat telah dilakukan sejak ditandatanganinya kontrak karya dan mulai berproduksi sejak tahun 2000. Luas wilayah eks- ploitasinya 51.932,23 ha, sementara itu kegiatan eksplorasi di Elang Dodo telah dilakukan sejak tahun 2004. Wilayah eksplorasinya seluas 16.568,54 ha.
Keberadaan PT. Newmont Nusa Tenggara
dalam melakukan kegiatan eksplorasi, konstruksi dan eksploitasi di wilayah kontrak karya Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat dan Elang Dodo, Kabupaten Sumbawa telah dapat dirasakan manfaatnya baik bagi masyarakat setempat, Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Namun demikian pelaksanaan kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara tidak selamanya berjalan dengan baik. Karena banyaknya terjadi sengketa. Sengketa tersebut adalah sengketa antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sengketa antara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, yang berkaitan dengan divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara sebesar 7%.
Penelitian   yang   mengkaji   tentang   faktor
penyebab terjadinya sengketa dan pola penye- lesaian sengketa antara masyarakat etnis Samawa
dengan PT. Newmont Nusa Tenggara belum pernah dilakukan, namun yang pernah diteliti adalah berkaitan dengan status hukum hutan  yang digunakan di kawasan hutan Elang Dodo, Sumbawa. Hutan Elang Dodo adalah hutan negara.1
Dengan  demikian,  penelitian  tentang  faktor penyebab terjadinya sengketa dan pola penyelesaian sengketa ini merupakan penelitian yang layak untuk dikaji secara mendalam, karena dari hasil penelitian ini nantinya mempunyai nilai strategis secara nasional, bahkan internasional. Hasil penelitian ini berguna untuk memecahkan masalah yang terjadi antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam tambang dapat berjalan dengan baik, dan PT. Newmont Nusa Tenggara dapat melaksanakan hak dan kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam dokumen kontrak karya.
Sengketa pertambangan di Indonesia sudah
terjadi sejak tahun 1967, yaitu pada saat dilaku- kan kegiatan pertambangan di Papua oleh PT. Freeport Indonesia. Jenis sengketa yang terjadi meliputi, sengketa hak atas tanah, lingkungan, dan kekerasan.2 Penelitian yang dilakukan oleh Iskandar Zulkarnain, dari LIPI pada pertambang- an emas di Pongkor, tambang batu bara di Kalimantan Selatan dan tambang timah di Bangka Belitung. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa:
Ada 3 aktor utama yang terlibat dalam melahir- kan konflik di daerah pertambangan Pongkor dan Cikotok. Ketiga sumber itu, meliputi pe- rusahaan pertambangan (PT. Aneka Tambang) Tbk., masyarakat lokal, dan penggali liar (Peti). Berdasarkan pada ketiga aktor utama itu, maka ada 3 jenis konflik yang terjadi di daerah pertambangan. Ketiga jenis konflik itu, meliputi (1) konflik antara perusahaan versus masyarakat, (2) konflik antara peru- sahaan dengan Peti, dan (3) konflik antara masyarakat lokal dengan Peti. Ada 5 faktor penyebab timbulnya konflik antara perusaha- an dengan masyarakat, yaitu (1) komuni- kasi yang mandeg antara perusahaan dan masyarakat, (2) berkurangnya lahan garapan masyarakat akibat berpindahnya kepemi- likan, (3) sistem penerimaan tenaga kerja yang nepotisme, (4) program pengembangan masyarakat (community development) yang parsial, dan (5) adanya gap antara aparat pemerintah dengan perusahaan. Ada 4 alasan yang dapat dikategorikan sebagai sumber konflik antara perusahaan dengan Peti, yakni
(1)  permainan aparat keamanan, (2) Peti lokal berhak  untuk  ikut  melakukan eksploitasi,
(3) Peti pendatang merasa berani melaku- kan eksploitasi, dan (4) perbedaan persepsi antara perusahaan dan aparat pemerintah. Ada 3 faktor yang dianggap sumber konflik dalam konflik antara masyarakat dengan Peti, yakni (1) Peti pendatang dan jaringannya menguasai lahan masyarakat, (2) Peti pen- datang dan jaringannya melakukan tindakan kekerasan kepada masyarakat, (3) adanya perlawanan dari masyarakat terhadap Peti pendatang.3
Konflik serupa juga terjadi di Filipina, seperti diungkapkan William Holden:
The Philippines is a developing country well- endowed with mineral resources. In recent years, the government has made substantial efforts to encourage the exploitation of these resources. This mining-based development paradigm has come into conflict with the in- digenous peoples of this nation. This conflict has entailed disputes between the mining industry and indigenous peoples about the validity of the Philippines indigenous peoples rights legislation and alleged human rights abuses on the behalf of the mining industry. The Philippines strong civil society has as- sisted the indigenous peoples in regard to this conflict. Possible solutions to this conflict are examined.4
Apabila dikaji pendapat di atas, bahwa konflik itu terjadi antara perusahaan tambang dengan masyarakat adat atau pribumi. Hal ini disebabkan karena perusahaan tambang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang telah ditentukan dalam undang-undang dan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia atas nama industri tambang. Hal ini bertentangan dengan Artikel 57 the Philippine Mining Act of 1995 menentukan bahwa kewajiban kontraktor adalah membantu memajukan masyarakat yang berada di lingkar tambang, meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan memajukannya dalam bidang ilmu pengeta- huan dan teknologi tambang. Namun, dalam realitasnya   perusahaan   tambang   yang    ada  di Philipina kurang memperhatikan hak-hak masyarakat lokal.
Hasil penelitian lain tentang sengketa tam-
bang dikemukakan José G. Vargas-Hernández. Sengketa tambang ini terjadi di Mexico. Ia mengemukakan bahwa:
Keberadaan perusahaan tambang telah me-
nyebabkan konflik sosial yang buruk, antara penghuni San Pedro, mengisyaratkan bahwa semua orang yang mempunyai perhatian (consent) terhadap warisan sejarah, budaya dan isu-isu lingkungan. Keberadaan per- usahaan telah merusak lingkungan hidup, keanekaragaman hayati, dan kesehatan pen- duduk.5
Jenis sengketa tambang yang terjadi di Mexico ini adalah kurangnya perhatian perusahaan tam- bang terhadap kerusakan lingkungan, keaneka- ragaman hayati, dan kesehatan penduduk.
Yang menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana pola penyelesaian sengketa, jika terjadi sengketa antara masyarakat dengan perusahaan tambang dan antara pemerintah pusat/pemerintah daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Pada garis besarnya, ada dua cara penyelesaian sengketa, yaitu melalui jalur pengadilan dan di

luar pengadilan. Litigasi adalah penyelesaian yang terjadi antara pihak di pengadilan.
Pola penyelesaian sengketa di luar pengadil- an adalah menggunakan ADR (alternative dispute resolution) atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) adalah sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberikan alternatif atau pilihan suatu cara penyelesaian sengketa.6
Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa masya- rakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Oleh karena itu, Ia berpendapat bahwa teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori konflik dan teori konsensus. Teori konflik menganalisis konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Sementara itu, teori konsensus menguji nilai integrasi dalam masyarakat.7 Randall Collins merupakan tokoh penting dalam membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif. Teori konflik integratif Randall Collins lebih menekankan pada analisis mikro. Ia mengemukakan bahwa:

Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat makro ini. Analisis- nya difokuskan pada stratifikasi sosial dan organisasi. Stratifikasi dan organisasi ini didasarkan pada interaksi kehidupan sehari- hari.8
Simon Fisher yang mengkaji dan mengana- lisis faktor penyebab terjadinya konflik. Fisher mengemukan bahwa penyebab terjadinya konflik adalah adanya:9
a)         Polarisasi (kelompok yang berlawanan)
yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat;
b)        Posisi-posisi yang tidak selaras dan perbeda-an pandangan tentang konflik oleh
pihak-pihak yang mengalami konflik;
c)         Kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau dihalangi;
d)        Identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan;
e)         Masalah-masalah ketidaksetaraan dan ke- tidakadilan yang muncul sebagai masalah- masalah sosial, budaya dan ekonomi;
f)          Ketidakcocokan dalam cara-cara komuni- kasi di antara berbagai budaya yang berbeda-beda.
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, serta Nader dan Todd mengemukakan teori tentang strategi penyelesaian konflik. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan 5 strategi dalam penyelesaian sengketa/konflik. Kelima strategi itu, meliputi:10
a)  contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya;
b) yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan;
c)  problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak;
d) with drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis; dan
e)  inaction (diam), yaitu tidak melakukan apa- apa.
Nader dan Todd  juga  mengemukakan  7 cara penyelesaian sengketa. Ketujuh cara itu, meliputi:11
a)    membiarkan saja atau lumping it;
b)   mengelak (avoidance);
c)    paksaan atau coercion;
d)   perundingan (negotiation);
e)    mediasi (mediation);
f)    arbitrase; dan
g)    peradilan, adjudication.
Dari ketujuh cara ini, maka dapat dibagi menjadi tiga cara penyelesaian sengketa, yaitu tradisional, ADR, dan pengadilan. Yang termasuk cara tradisional adalah membiarkan saja atau lumping it, mengelak (avoidance) dan paksaan. Penelitian ini akan menganalisis penyelesaian sengketa yang terjadi dengan masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pe- merintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, apakah menggunakan negosiasi, mediasi, arbitrase, mengelak, peng- adilan, dan lain-lain. Ke semua cara-cara ini  yang akan diteliti dan dikaji secara mendalam, hasil penelitian ini akan dirumuskan sebuah model penyelesaian sengketa yang menyeluruh dan paling tepat untuk digunakan dalam rangka mengakhiri sengketa yang timbul antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Dari uraian di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya sengketa antara masyarakat, (2) Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, dan (3) Bagaimanakah pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara masyarakat Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.


B.       Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan gabungan dari penelitian normatif dan penelitian antropologi hukum. Sumber data yang digunakan dalam penelitian in, yaitu data kepustakaan dan lapangan. Data kepustakaan dalam ilmu hukum dapat dibedakan menjadi 3 macam bahan hukum, yaitu bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data primer merupakan data yang berasal dari data lapangan. Sampel utama dalam  penelitian ini adalah para pihak yang bersengketa. Pihak yang bersengketa adalah antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Jumlah sampel yang dipilih sebanyak 70 orang. Penelitian dilakukan di Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat, Mataram, dan Jakarta. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data ke- pustakaan adalah menggunakan studi dokumen. Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data lapangan adalah wawancara mendalam (depth interview) dengan para responden. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Hal-hal yang akan dianalisis, meliputi faktor penyebab terjadinya sengketa dan cara untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.

C.      Hasil Penelitian dan Pembahasan

      Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa antara Masyarakat Etnis  Samawa  dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara
Sengketa di bidang pertambangan merupa- kan sengketa atau konflik atau pertentangan  yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan per- tambangan. Kegiatan pertambangan meliputi kegiatan untuk melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, eksploitasi, pemurnian dan penjualan terhadap sumber daya alam, yang berupa mineral, kumpulan mineral, batuan, bijih maupun batu bara.
Kelima kegiatan itu tidak selalu dapat dilaksanakan dengan baik oleh kontraktor yang ditunjuk. Dalam pelaksanaan kegiatan tambang, kontraktor yang ditunjuk selalu menimbulkan masalah. Masalah itu tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan kontraktor, tetapi juga terjadi antara Pemerintah dengan kontraktor. Pada tanggal 2 Desember 1986, Pemerintah Indonesia telah menunjuk PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai kontraktor untuk melakukan kegiatan penambangan di wilayah Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat dan Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa. Penambangan yang dilaksanakan tidak selalu berjalan dengan baik, karena selalu mendapat hambatan dari masyarakat sekitar area penambangan maupun dari pemerintah daerah. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan, baik di wilayah Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat, wilayah Elang Dodo, Kecamatan Ropang Kabupaten Sumbawa, maupun di Kota Mataram, maka ada  5 jenis sengketa yang terjadi antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kelima jenis sengketa itu, meliputi sengketa wilayah kontrak karya (44%), sengketa program community development (Comdev) PT. Newmont Nusa Tenggara (57%), sengketa hak atas tanah (1%), perusakan rumah kepala desa Ropang (9%), dan divestasi saham (10%). Dari kelima jenis sengketa itu, maka yang akan dianalisis dalam penelitian ini hanya sengketa wilayah kontrak karya, sengketa program Comdev PT. Newmont Nusa Tenggara, dan divestasi saham. Ketiga jenis sengketa itu, disajikan berikut ini.

a)       Sengketa Wilayah Kontrak Karya

Sengketa wilayah kontrak karya merupakan sengketa yang terjadi antara perusahaan tambang dengan masyarakat yang berada di sekitar wilayah kontrak karya (44%). Para pihak yang bersengketa, yaitu masyarakat desa Labangkar dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Yang menjadi objek sengketa ini adalah wilayah kontrak karya yang digunakan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah kontrak karya Elang Dodo, Kecamatan Ropang seluas 16.568,54 ha. Faktor penyebab terjadinya sengketa wilayah kontrak karya yang digunakan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan kegiatan eksplorasi, disajikan dalam tabel 1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa se-
banyak 25 orang responden atau 83%, berpen- dapat bahwa faktor penyebab timbulnya sengketa antara masyarakat Desa Lebangkar dengan PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena belum dipenuhinya permintaan ganti rugi oleh PT. Newmont Nusa Tenggara. Alasan masyarakat meminta ganti rugi kepada PT. Newmont Nusa Tenggara karena wilayah kontrak karya yang digunakan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah kontrak karya Elang Dodo, Kecamatan Ropang seluas 16.568,54 ha merupakan tanah adat yang ditinggalkan oleh leluhur mereka 77 tahun yang lalu.
Sebanyak   3   orang   responden   (12%) berpendapat bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa  antara  masyarakat  Labangkar   dengan
No.          Faktor Penyebab Sengketa
Wilayah Kontrak Karya

Responden (orang)
Persentase (%)
1.   Ganti rugi hak atas tanah di Elang                 25                             83
Dodo (wilayah KK)

2.      Status wilayah Elang Dodo
3
12
3.      Pemerintah terlalu dekat dengan perusahaan
1
4
4.      PT. NNT tidak pernah masuk ke masyarakat
1
4
Total
30
103%
PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena status hukum wilayah Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa. Dengan demikian, ditinjau dari segi hukum adat, warga Lebangkar dan warga lainnya sebagai individu yang mempunyai hubungan emosional dengan warga Lebangkar tidak lagi berhak atas tanah yang sudah membelukar itu, tetapi warga Lebangkar sebagai suatu komunitas desa (masyarakat) tetap berhak terhadap tanah di wilayah Elang Dodo (tanah komunal desa).
b)       Sengketa Program Community Develop- ment PT. Newmont Nusa Tenggara Sengketa program community development
merupakan sengketa yang terjadi antara masya- rakat lingkar tambang, terutama masyarakat  Desa Ropang, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara berkaitan dengan tidak dipenuhinya usulan proposal senilai Rp10 milyar. Faktor penyebab terjadinya sengketa antara masyarakat Desa Ropang, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, disajikan dalam tabel 2 berikut ini.
Penyebab utama timbulnya sengketa antara masyarakat Desa Ropang, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa dengan PT.  Newmont  Nusa Tenggara adalah karena tidak dipenuhinya
permintaan masyarakat terhadap proposal yang diajukan oleh masyarakat Desa Ropang kepada PT. Newmont Nusa Tenggara. Nilai proposal yang diajukan oleh masyarakat desa Ropang sebanyak Rp10 milyar. Uang sebanyak itu  digunakan untuk pembangunan infrastruktur,  pertanian,  dan pelatihan tenaga kerja. Akibat dari tidak dipenuhinya permintaan itu, maka masyarakat telah melakukan pembakaran base camp PT. Newmont Nusa Tenggara di Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa pada tanggal 19 Maret 2006.
Dari hasil wawancara dengan Asraruddin
Rahman, bahwa faktor penyebab masyarakat melakukan pembakaran base camp PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena tidak dipenuhi substansi kontrak karya sosial oleh PT. Newmont Nusa Tenggara. Inti kontrak karya sosial itu, meliputi: (1) Masyarakat desa Ropang dapat berpartisipasi sebagai tenaga kerja lokal dalam pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi PT. Newmont Nusa Tenggara; dan (2) Dipenuhinya proposal senilai Rp10 milyar.
Di samping itu, Asraruddin Rahman, berpendapat bahwa faktor penyebab terjadinya pembakaran base camp PT. Newmont Nusa Tenggara adalah: (1) Tidak adanya komunikasi antara masyarakat Desa Ropang, Kecamatan

Tabel 2. Faktor Penyebab Sengketa antara Masyarakat Ropang dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (n=40)


No.    Faktor    Penyebab    Sengketa    antara Masyarakat Ropang dengan PT. NNT


Responden (orang)

Persentase (%)

1.   Tidak dipenuhinya permintaan proposal Rp10 milyar
34                             100
2.      Kecemburuan tenaga kerja

3
9
3.      Tidak transparan pemerintah

1
3
4.      Pengaruh dari luar desa Ropang

1
3
5.      Kekecewaan masyarakat terhadap
PT.
2
6
NNT karena tidak dijumpai di base camp
PT. NNT di Elang

6.      Pernyataan   bupati    yang    menghina                    2                                6
masyarakat

Total                                                                        43                            127%

Sumber: Data Primer Diolah (2009),
Ropang, Kabupaten Sumbawa dengan Pemerintah Daerah Sumbawa dan PT. Newmont Nusa Tenggara; (2) Tidak adanya penjelasan tentang pemanfaatan tenaga kerja lokal dalam pelaksana- an kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi; (3) Tidak dipenuhinya permintaan proposal yang telah diajukan oleh masyarakat, pada hal PT. Newmont Nusa Tenggara telah meminta kepada masyarakat untuk mengajukan proposal dengan nilai proposalnya Rp10 milyar; (4) Tidak transparannya PT. Newmont Nusa Tenggara tentang program-program pengembangan yang akan dilakukan, baik pada kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi; dan (5) Tidak adanya penjelasan dari PT. Newmont Nusa Tenggara tentang dampak negatif dan positif dari kegiatan pertambangan.
Pelaksanaan program pengembangan masya-
rakat bagi masyarakat yang berada di daerah lingkar tambang Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa belum dilakukan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara, ini disebabkan wilayah kontrak karya Elang Dodo, masih dalam tahap kegiatan eksplorasi, yaitu tahap untuk menentukan secara detail kandungan emas, tembaga dan perak. Biasanya pelaksanaan program pengembangan masyarakat PT. Newmont Nusa Tenggara baru dilakukan pada saat dilakukan kegiatan konstruksi dan eksploitasi.

c)        Sengketa Divestasi Saham

Sengketa divestasi saham merupakan seng- keta yang terjadi antara perusahaan tambang dengan pemerintah pusat/pemerintah daerah yang berkaitan dengan divestasi saham. Timbulnya seng-keta ini adalah disebabkan karena ketidak-
sepakatan antara perusahaan tambang dengan pemerintah pusat/pemerintah daerah tentang cara- cara pembayaran harga saham yang ditawarkan oleh perusahaan tambang. Perusahaan tambang menginginkan pembayaran dengan menggunakan pinjaman yang berasal dari perusahaan tambang itu sendiri dan berdasarkan prinsip business to business, sementara Pemerintah Pusat, khususnya Pemerintah Provinsi/Kabupaten menginginkan pembayaran harga saham menggunakan uang pihak ketiga. Berdasarkan hasil  penelitian dengan responden, maka yang menjadi penyebab timbulnya sengketa divestasi saham, disajikan dalam tabel 3 berikut ini.
Dalam dokumen kontrak karya yang telah
dibuat dan ditandatangani antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara pada tanggal 2  Desember  1986  telah  diatur  dan ditentukan kewajiban PT. Newmont Nusa Tenggara. Salah satu kewajiban dari PT. Newmont Nusa Tenggara adalah melakukan divestasi saham yang dikuasinya kepada Pemerintah Indonesia atau masyarakat Indonesia atau perusahaan Indonesia. Divestasi saham dimaknakan sebagai pengalihan saham yang dimiliki oleh investor asing kepada Pemerintah Indonesia, warga  negara Indonesia atau perusahaan Indonesia yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia.
Perintah  untuk  melakukan  divestasi  saham
PT. Newmont Nusa Tenggara telah ditentukan dalam Pasal 79 huruf y Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan  Mineral  dan    Batubara,    Peraturan    Pemerintah Nomor
23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha   Pertambangan   Mineral   Dan  Batubara,


Tabel 3. Faktor Penyebab Sengketa Divestasi Saham (n= 7)


No.         Faktor Penyebab Sengketa
Divestasi Saham
Jumlah Responden
(orang)
Persentase
(%)
1.      Tidak konsisten PT. NNT dalam pelaksanaan KK
4
57
2.      Adanya pihak ketiga
3
43
Total
7
100
Sumber: Data Primer Diolah (2009).
serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam ketentuan itu, diatur tentang peserta dan jumlah saham yang harus ditawarkan kepada peserta Indonesia. Peserta Indonesia yang dapat membeli saham yang didivestasikan itu, meliputi: Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. Jumlah saham yang wajib ditawarkan sebanyak 51%.
Di samping itu, ketentuan tentang divestasi
diatur dalam Pasal 24 ayat (3) sampai dengan ayat (6) Kontrak Karya. Dalam ketentuan itu telah diatur tentang peserta penawaran, jumlah saham yang akan ditawarkan, cara-cara melakukan penawaran, dan besarnya harga saham yang ditawarkan. Saham yang dimiliki oleh PT. New- mont Nusa Tenggara akan ditawarkan untuk dijual atau diterbitkan kepada Pemerintah Indonesia, warga negara Indonesia; atau perusahaan Indo- nesia yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia. Jumlah saham yang ditawarkan kepada peserta Indonesia telah ditentukan dalam  Pasal 24 ayat (5) Kontrak Karya. Jumlah saham yang ditawarkan kepada peserta Indonesia sebanyak 31%.
Para responden berpendapat bahwa dengan
adanya ketentuan itu, maka  kewajiban  utama dari PT. Newmont Nusa Tenggara adalah mengalihkan saham yang dimilikinya kepada pemerintah Indonesia/pemerintah daerah, namun, PT. Newmont Nusa Tenggara sendiri membuat persyaratan-persyaratan yang sangat sulit untuk dipenuhi oleh pemerintah Indonesia/pemerintah daerah.
PT. Newmont Nusa Tenggara telah menawarkan 2 cara  untuk  membeli  saham  yang ditawarkan kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Sumbawa, yaitu:
(1) Perjanjian jual beli saham; dan (2) Perjanjian pinjaman uang.
Dari tawaran di atas, nampak bahwa PT. Newmont Nusa Tenggara menyetujui untuk menjual saham kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa, namun, uang yang digunakan untuk membeli saham itu berasal dari pemegang saham asing PT. Newmont Nusa Tenggara, yaitu Newmont Indonesia Limited dan Nusa Tenggara Mining Corporation. Besarnya pinjaman yang diberikan kepada Perseroan Terbatas bentukan Pemerintah Daerah disesuaikan dengan jumlah saham yang dibelinya. Pinjaman ini bersifat non- recourse, dalam arti bahwa pengembalian hanya akan berasal dari dividen dan segala hak yang berasal dari saham PT. Newmont Nusa Tenggara.
Tawaran sistem pembayaran saham yang
diajukan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa itu ditolak oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, sementara Pemerintah Kabupaten Sumbawa menerima tawaran yang disampaikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara.
Alasan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa  Barat untuk menolak tawaran yang disampaikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena mereka akan membayar harga saham dengan  cara kontan. Namun, uang yang digunakan untuk pembayaran saham itu berasal dari PT. Bumi Resources Tbk. Hal ini didasarkan pada MoU yang dibuat  dan  ditandatangani  pada  tanggal  16 Maret 2007 antara PT. Bumi Resources Tbk, Gubernur Nusa Tenggara Barat dan Bupati Sumbawa. Isinya MoU tersebut untuk membeli saham 3% dari PT. Newmont Nusa Tenggara. Di samping itu, PT. Bumi Resources Tbk., Gubernur Nusa Tenggara Barat dan Bupati Sumbawa akan membentuk perusahaan daerah yang akan dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
Tawaran yang disampaikan oleh PT. New- mont Nusa Tenggara dengan sistem pinjaman uang kepada pemilik modal asing PT. Newmont Nusa Tenggara kepada Pemerintah Provinsi  Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat ditolak oleh kedua pemerintah tersebut. Tanggal 30 November 2007, PT. Newmont Nusa Tenggara menawarkan sistem penjualan saham kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dengan sistem business to business. Syarat penjualan  saham  dengan  sistem business to business, meliputi: (1) Para penjualnya, yaitu Newmont Indonesia Limited dan Nusa Tenggara Mining; (2) Corporation; dan (3) Pembelinya suatu Perseroan Terbatas (PT) yang 100% sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat.
Sistem penjualan saham yang ditawarkan oleh
PT. Newmont Nusa Tenggara juga ditolak oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, karena syarat itu sangat sulit untuk dipenuhi oleh kedua pemerintah tersebut. Ini disebabkan karena dengan sistem penjualan saham dengan cara business to business, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat harus menyiapkan sejumlah uang kontan yang berasal dari kedua pemerintah tersebut. Untuk membeli saham senilai 3%, maka pembeli saham harus menyiapkan dana sebanyak Rp1,3 triliun. Dana sebanyak itu sangat sulit untuk dipenuhi oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat.

2.                Pola Penyelesaian Sengketa antara Masya- rakat Etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan diketahui bahwa sengketa yang terjadi antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara diselesai- kan dengan menggunakan hukum Negara, hukum adat, dan arbitrase internasional. Pendapat responden tentang hal itu, disajikan dalam tabel berikut ini:
Hukum Negara dituangkan dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan seterusnya. Masyarakat mengingin- kan setiap ada masalah dalam pelaksanaan kontrak karya PT. Newmont Nusa Tenggara harus menggunakan hukum yang dibuat oleh Negara karena hukum Negara mengandung sanksi bagi para pelanggar. Bahkan mereka berpendapat setiap kejahatan harus dihukum dengan seberat- beratnya,  sehingga  menimbulkan   perasaan takut bagi masyarakat yang lainnya. Apabila terjadi sengketa perdata antara PT. Newmont Nusa Tenggara dengan masyarakat juga harus menggunakan hukum Negara. Hukum Negara yang mengatur tentang penyelesaian sengketa, meliputi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Pasal 154 Undang-Undang  Nomor
Tahun   2009   tentang   Pertambangan Mineral
dan Batubara. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun  1999  tentang Arbitrase  Dan Alternatif


Tabel 4. Pola Penyelesaian Sengketa (n=70)


No.
Pola Penyelesaian Sengketa
Jumlah Responden
Persentase


(orang)
(%)
1.
Hukum Negara
3
4%
2.
Hukum Adat
60
86%
3.
Arbitrase Internasional
7
10%

Total
70
100%
Sumber: Data Primer Diolah (2009).

Penyelesaian Sengketa telah ditentukan  lima cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yaitu dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sedangkan di dalam Pasal 154 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah ditentukan dua cara penyelesaian sengketa, yaitu melalui pengadilan dan arbitrase dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Kedua cara  penyelesaian  sengketa  itu  digunakan  untuk  mengakhiri  sengketa  yang timbul di dalam pelaksanaan IUP (Izin Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus).
Penggunaan hukum Negara dalam penye-
lesaian sengketa pertambangan karena mem- berikan kepastian hukum tentang hak dan kewajib- an antara masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Sementara itu, pandangan masyarakat yang paling dominan tentang cara penyelesaian sengketa antara masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (85%) adalah menggunakan hukum adat. Hukum adat merupakan kaidah- kaidah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dari hasil penelitian dengan responden, ditemukan istilah-istilah yang dikenal dalam masyarakat untuk mengakhiri sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, yang meliputi: Tumaq Barema, Tumaq basuan, Saling basabalong, Basasai dan Yasasapah.
Istilah  tumaq  barema  atau  tumaq  basuan
mengandung pengertian yang sama. Tumaq ba- rema atau tumaq basuan artinya duduk bersama- sama (tokal barema) untuk menyelesaikan dan mengakhiri sengketa yang timbul, baik antara masyarakat dengan masyarakat maupun antara masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Cara seperti ini tidak melibatkan pihak ketiga, melainkan para pihaklah yang menyelesaikan sendiri sengketa atau konflik yang terjadi di antara mereka. Konsekuensi dari penyelesaian secara bersama-sama ini, maka yang berat atau ringan

dapat diselesaikan dengan adanya kekompakan masyarakat. Dalam istilah masyarakat disebut dengan “teri awan no akan ko tanahartinya awan atau langit tidak akan jatuh ke tanah kalau masyarakatnya kompak dalam menyelesaikan masalah secara bersama-sama.
Sementara itu, istilah saling basabalong, basasai, atau yasasapah mengandung makna setiap orang atau masyarakat yang bersengketa atau konflik harus segera diperbaiki sehingga hubungan para pihak menjadi baik. Penyelesaian dengan menggunakan cara saling basabalong, basasai, atau yasasapah ini melibatkan pihak ketiga, seperti tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh agama. Saling basabalong, basasai, dan yasasapah mirip dengan mediasi. Di samping itu, dalam masyarakat Ropang dikenal juga istilah saling sariri lemah bariri“. Saling sariri lemah bariri artinya setiap ada masalah harus saling segera untuk diperbaikinya supaya  menjadi  baik.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase inter-
nasional merupakan cara pengakhiran sengketa yang telah disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Kesepakatan ini telah dituangkan dalam dokumen kontrak karya PT. Newmont Nusa Tenggara. Cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa itu adalah melalui lembaga Arbitrase UNCITRAL di New York. Tujuan Pemerintah Indonesia mengaju- kan gugatan melalui Arbitrase UNCITRAL di New York adalah menjaga iklim investasi dan sikap menghormati kontrak. Gugatan Pemerintah Indonesia diajukan pada tanggal 3 Maret 2008, sedangkan default dilakukan 11 Februari 2008. PT. Newmont Nusa Tenggara diberi kesempatan perpanjangan waktu dua kali, yaitu masing- masing tanggal 22 Februari 2008. Bertindak sebagai arbiter dalam gugatan perkara divestasi ini terdiri dari 3 arbiter, yakni Dr. Robert Briner, Profesor M. Sonarajah dan Judge Stephen M. Scwebel.
Robert Briner merupakan arbiter independen,
yang berasal dari Swiss. Profesor M Sonarajah dari

Singapura ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan arbiter Judge Stephen M. Scwebel berasal dari AS, mewakili Sumitomo Corporation dan Newmont Corp.
Sidang perdana telah dilakukan pada tanggal 10 Desember 2008 di Hotel JW Marriot Jakarta. Pada tanggal 31 Maret 2009, sidang arbitrase internasional di bawah the UNCITRALArbitration Rule 1976 telah menetapkan putusan sebagai
berikut:
1) PT. Newmont Nusa Tenggara diwajibkan untuk menjamin bahwa saham yang akan dialihkan/dijual kepada Pemerintah Indonesia sesuai dengan Pasal 24 ayat
(3) Kontrak Karya adalah bebas dari gadai.
2) Mewajibkan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan divestasi saham:
a.    3% tahun 2006;
b.    7% tahun 2007
kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabu-paten Sumbawa.
3) Mewajibkan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk mendivestasikan saham tahun 2008 sebesar 7% kepada Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Daerah atau badan hukum Indonesia.
4) PT. Newmont Nusa Tenggara diberikan waktu jangka waktu 180 hari, sejak putusan untuk melakukan divestasi saham kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan  adanya  putusan  tersebut,  tidak  ada alasan bagi PT. Newmont Nusa Tenggara untuk menolak untuk  melakukan  divestasi saham kepada Pemerintah Republik Indonesia atau Pemerintah Daerah. Apabila dalam tempo 180 hari, divestasi tidak dapat dilakukan, maka Pemerintah Republik Indonesia dapat mengakhiri kontrak karya yang telah dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.

D.      Kesimpulan

Faktor penyebab terjadinya sengketa antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara bervariasi. Faktor-faktor tersebut, meliputi (1) belum dipenuhinya permintaan ganti rugi oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (83%) dan (2) belum jelasnya status hukum wilayah Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa (12%). Penyebab utama timbulnya sengketa antara masyarakat Desa Ropang, Kecamatan Ropang Kabupaten Sumbawa dengan PT.  Newmont  Nusa Tenggara adalah karena tidak dipenuhinya permintaan  masyarakat   terhadap   proposal yang diajukan oleh masyarakat Desa Ropang, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa kepada PT. Newmont Nusa Tenggara (100%). Nilai proposal yang diajukan oleh masyarakat Desa Ropang sebanyak Rp10 milyar. Faktor penyebab timbulnya sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena tidak konsistennya PT. Newmont Nusa Tenggara dalam melaksanakan kontrak karya (57%) dan adanya pihak ketiga (43%).
Persepsi masyarakat tentang cara atau pola
untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, meliputi hukum Negara (4%), hukum adat  (86%), dan arbitrase internasional (10%). Pola penyelesaian sengketa yang paling dominan adalah menggunakan hukum adat. Cara-cara itu, meliputi (1) tumaq barema atau tumaq basuan, dan (2) saling basabalong atau basasai atau yasasapah.




















Tidak ada komentar:

Posting Komentar