ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUN
Jasa Konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan
pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan
layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi. Para pihak dalam suatu
pekerjaan konstruksi terdiri dari pengguna jasa dan penyedia jasa. Pengguna
jasa dan penyedia jasa dapat merupakan orang perseorangan atau badan usaha baik
yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan berbentuk badan hukum.
Bidang Jasa Kosntruksi merupakan bidang yang utama dalam
melaksanakan agenda pebangunan nasional. Jasa Konstruksi sebagai
salah satu bidang dalam sarana pembangunan, sudah sepatutnya diatur dan
dilindungi secara hukum agar terjadi situasi yang objektif dan kondusif dalam
pelaksanaannya. Pada pelaksanaan Jasa Konstruksi
harus memperhatikan beberapa aspek hukum :
1.
Keperdataan : menyangkut tentang sahnya suatu
perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan
jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan,
sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
2.
Administrasi Negara : menyangkut tantanan administrasi
yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
3.
Ketenagakerjaan : menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan
terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
4.
Pidana : menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur
pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.
Mengenai hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338 KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata, mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
3.
Suatu hal tertentu;
4.
Suatu sebab yang diperkenankan.
Konrak dalam jasa konstruksi harus memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif tersebut.
PERMASALAHAN
UKUM DALAM JASA KONSTRUKSI
1. HUKUM PERDATA
Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan,
yaitu : – Karena kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun
karena kelalaian – Karena keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan
para pihak, jadi tidak bersalah. Perbuatan Melawan Hukum adalah ; perbuatan
yang sifatnya langsung melawan hukum, serta perbuatan yang juga secara langsung
melanggar peraturan lain daripada hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum,
yang diatur pada Pasal 1365 KUHPerdata (pasal 1401 BW Belanda) hanya
ditafsirkan secara sempit.
2. HUKUM PIDANA
Secara prinsip isinya sebagaimana berikut, barang siapa yang
merencanakan, melaksanakan maupun mengawasi pekerjaan konstruksi yang tidak
memenuhi ketentuan keteknikan dan mengakibatkan kegagalan pekerjaan konstruksi
(saat berlangsungnya pekerjaan) atau kegagalan bangunan (setelah bangunan
diserahterimakan), maka akan dikenai sanksi pidana paling lama 5 (lima) tahun
penjara atau dikenakan denda paling banyak 5 % (lima persen) untuk pelaksanaan
pekerjaan konstruksi dan 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak untuk
perencanaan dan pengawasan, dari pasal ini dapat dilihat penerapan Sanksi
pidana tersebut merupakan pilihan dan merupakan jalan terakhir bilamana terjadi
kegagalan pekerjaan konstruksi atau kegagalan bangunan karena ada pilihan lain
yaitu denda
3. PIDANA KORUPSI
Dalam kasus pidana korupsi unsur perbuatan melawan hukum
sebagaimana pasal tersebut harus dapat dibuktikan secara hukum formil apakah
tindakan seseorang dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sehingga dapat
memperkaya diri sendiri atau orang lain yang dapat menyebabkan kerugian
keuangan Negara dan perekonomian Negara. Kemudian institusi yang berhak untuk
menentukan kerugian Negara dapat dilihat di UU No 15 Tahun 2006 tentang Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK).
4. HUKUM
ADMINISTRATIF
– Peringatan tertulis
– Penghentian sementara pekerjaan konstruksi
– Pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi
– Larangan sementara
penggunaan hasil pekerjaan konstruksi dikenakan bagi pengguna jasa.
– Pembekuan Izin Usaha dan atau Profesi – Pencabutan Izin
Usaha dan atau Profesi
KLAIM
KONTRAK KERJA KONSTRUKSI
Klaim konstruksi
adalah permohonan atau tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan
pelaksanaan suatu pekerjaan jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia
jasa atau antara penyedia jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok
bahan atau antara pihak luar dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang bisaanya
mengenai permintaan tambahan waktu, biaya atau kompensasi lain.
Pengaturan hubungan kerja konstruksi
antara pengguna jasa dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja
konstruksi. Suatu kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang-kurangnya harus
mencakup uraian adanya:
1.
para pihak
identitas para pihak
yang berkontrak. Syarat ini lazim ditemukan dalam kontrak-kontrak lain karena
harus jelas siapa subjek yang melakukan hubungan hukum tersebut. Identitas
setidak-tidaknya memuat nama, alamat, kewarganegaraan, domisili, dan kewenangan
membubuhkan tanda tangan.
2.
isi atau rumusan pekerjaan
rumusan pekerjaan.
Bagian ini harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai apa yang akan
dikerjakan, lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu proyek. Dalam
praktik, penambahan waktu pekerjaan tetap dimungkinkan asalkan disepakati lebih
dahulu para pihak.
3.
jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
masa pertanggungan
dan/atau pemeliharaan, yang memuat jangka waktu pertanggungan atau pemeliharaan
yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa. Syarat ini berkaitan dengan asuransi
proyek konstruksi, dengan asumsi ada
kemungkinan kegagalan atau kejadian di luar perkiraan.
4.
tenaga ahli
gambaran tentang tenaga
ahli, baik mengenai jumlah, kualifikasi keahlian, dan klasifikasi pekerjaan
jasa kontruksi yang akan dilakukan.
5.
hak dan kewajiban para pihak
hak dan kewajiban para
pihak. Misalnya, di satu sisi pengguna jasa berhak untuk memperoleh hasil
konstruksi; di sisi lain berkewajiban memenuhi isi perjanjian seperti membayar
penyedia jasa.
6.
tata cara pembayaran
cara pembayaran. Dalam
kontrak harus diatur bagaimana pembayaran proyek dilakukan. Bisa jadi ada
kemungkinan pembayaran di muka, memakai cicilan, harus menggunakan bank, dan
lain-lain. Klausula ini memberikan kepastian kepada para pihak.
7.
cidera janji
aturan mengenai cedera
janji (wanprestasi). Kontrak harus memuat tanggung jawab salah satu pihak jika
isi perjanjian tidak dilaksanakan sesuai apa yang disepakati. Penting juga
memuat apa yang masuk lingkup cedera janji.
8.
penyelesaian tentang perselisihan
klausula penyelesaian
sengketa. Kontrak harus memuat mekanisme penyelesaian sengketa yang akan
ditempuh para pihak jika terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa
jasa konstruksi bisa lewat
pengadilan atau penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement).
9.
pemutusan kontrak kerja konstruksi
pemutusan kontrak kerja
konstruksi. Jika salah satu pihak tidak menyelesaikan kewajiban, terbuka
peluang pemutusan kontrak secara sepihak. Dalam konteks ini, kontrak jasa
konstruksi sebaiknya memuat ketentuan pemutusan kontrak kerja.
10.
keadaan memaksa (force majeure)
kondisi-kondisi yang
dikualifikasi sebagai keadaan memaksa atau force majeur. Ini adalah
kejadian yang timbul di luar kehendak para pihak dan menimbulkan implikasi pada
pekerjaaan jasa konstruksi. Misalnya, banjir atau gempa bumi.
11.
tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
klausula mengenai
kegagalan bangunan. Isinya tentang kewajiban para pihak (penyedia jasa dan
pengguna jasa) jika terjadi kegagalan bangunan.
12.
perlindungan tenaga kerja
klausula mengenai
perlindungan pekerja. Para pekerja yang mengerjakan jasa kontruksi seharusnya
dilindungi dalam rangka keselamatan dan kesehatan kerja. Klausula ini bisa
merujuk pada UU Ketenagakerjaan dan peraturan keselamatan
kerja.
13.
perlindungan aspek lingkungan.
klausula mengenai pemenuhan
kewajiban yang berkenaan dengan lingkungan, seperti Amdal.
Khusus menyangkut dengan kontrak kerja konstruksi untuk pekerjaan
perencanaan, harus memuat ketentuan tentang hak atas kekayaan intelektual.
KONTRAK FIDIC
FIDIC adalah singkatan dari Federation
Internationale Des Ingenieurs-Conseils (International Federation of Consulting Engineers) yang
berkedudukan di Lausanne, Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh
negara-negara Perancis, Belgia dan Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC
merupakan perkumpulan dari assosiasi-assosiasi nasional para konsultan (Consulting engineers) seluruh dunia. Organisasi
konsultan internasional, FIDIC (Federation Internationale des Ingenieurs Conseils),
sebenarnya sudah membuat standard kontrak jasa konstruksi yang lazim dipakai di
banyak negara. FIDIC Conditions of Contract terus diperbarui
dan mengalami revisi, disesuaikan dengan perkembangan. Pengamat hukum jasa
konstruksi, Sarwono Hardjomujadi, mengatakan kontrak-kontrak jasa konstruksi di
Indonesia sudah banyak mengakomodasi ketentuan FIDIC.
Kontrak
FIDIC adalah bentuk standar yang paling umum digunakan kontrak konstruksi
internasional di dunia saat ini. Kontrak FIDIC standar yang sering digunakan
dalam kedua proyek konstruksi besar dan kecil, dan mereka cocok untuk pihak
dari kebangsaan yang berbeda, berbicara bahasa yang berbeda dan berasal dari
yurisdiksi yang berbeda. FIDIC memiliki beberapa tipe kontrak:
- FIDIC Buku Merah adalah standar, dan yang paling umum digunakan, bentuk kontrak konstruksi di semua proyek di mana desain yang disediakan oleh Pemberi Kerja, mengikuti rute pengadaan tradisional Desain, Bid dan Build. Kontraktor dibayar secara pengukuran untuk jumlah sebenarnya pekerjaan yang dilakukan. Jumlah Kontrak yang diterima didasarkan pada jumlah diperkirakan.
- FIDIC Buku Kuning, adalah kontrak standar di mana desain dilakukan oleh Kontraktor. Buku Kuning juga dikenal sebagai kontrak Tanaman dan Design-Build. Kontraktor biasanya dibayar secara lump sum.
- FIDIC Buku Perak diterbitkan. Buku Perak digunakan untuk proyek-proyek EPC / Turnkey mana mayoritas risiko dialokasikan kepada Kontraktor. Desain dilakukan oleh Kontraktor dan pembayaran biasanya secara lump sum.
- FIDIC Buku hijau, yang merupakan kontrak bentuk pendek ditujukan untuk proyek-proyek yang relatif kecil yang bersifat berulang atau durasi pendek di mana Majikan menyediakan desain. Berdasarkan pedoman FIDIC, USD 500,000 dan 6 bulan dianggap sebagai batas yang wajar pada modal dan durasi untuk proyek-proyek di mana bentuk Buku Hijau digunakan
- FIDIC Buku emas, edisi pertama Kitab Emas diterbitkan di 2008 dan didasarkan pada desain khas dan membangun bentuk kontrak di mana masa operasi dan pemeliharaan telah ditambahkan. Buku Emas mencakup berbagai kompleks layanan yang berbeda dan dimaksudkan untuk berlanjut setelah masa 20 tahun di mana pihak-pihak yang berniat untuk memperpanjang kerjasama mereka sepanjang durasi proyek.
- FIDIC Blue Book, kontrak diterbitkan di 2006 dan merupakan bentuk kontrak untuk pengerukan, reklamasi dan pekerjaan konstruksi tambahan dengan berbagai macam pengaturan administrasi.
Jenis Kontrak yang akan dipilih oleh Pemberi Kerja atau pihak
tergantung pada kebutuhan masing-masing proyek dan kepentingan Majikan dan
preferensi siapa yang harus bertanggung jawab atas desain.
Semua Kontrak FIDIC memiliki fitur umum tertentu dan mengakui
perlunya pendekatan yang seimbang antara peran dan tanggung jawab pihak yang
terlibat, serta alokasi seimbang dan manajemen risiko. Semua dari mereka
terdiri dari Syarat Umum Kontrak yang (“GCC”), yang dianggap
cocok dalam semua kasus, dan Ketentuan khusus Kontrak (“PCC”),
di mana para pihak dapat menentukan isu-isu spesifik proyek atas dasar kasus
per kasus. Semua Kontrak FIDIC juga termasuk aturan untuk adaptasi jumlah
kontrak yang telah disepakati dan aturan untuk perpanjangan waktu untuk
penyelesaian dan variasi prosedur. Kebanyakan bentuk
FIDIC menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa multi-tier. Tergantung pada
jenis kontrak FIDIC, metode yang paling umum-digunakan untuk penyelesaian
sengketa.
(https://www.international-arbitration-attorney.com/id/fidic-contracts-overview-of-the-fidic-suite/)
(https://www.international-arbitration-attorney.com/id/fidic-contracts-overview-of-the-fidic-suite/)
DISPUTE (SENGKETA)
Sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan
dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut
dalam suatu kontrak konstruksi yang di dunia Barat disebut construction dispute. sengketa konstruksi yang
dimaksudkan di sini adalah sengketa di bidang perdata yang menurut UU
no.30/1999 Pasal 5 diizinkan untuk diselesaikan melalui Arbitrase atau Jalur
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Sengketa konstruksi dapat timbul antara lain karena klaim
yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan
penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidak mampuan
baik teknis maupun manajerial dari para pihak. Selain itu sengketa konstruksi
dapat pula terjadi apabila pengguna jasa ternyata tidak melaksanakan tugas-tugas
pengelolaan dengan baik dan mungkin tidak memiliki dukungan dana yang cukup.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa sengketa konstruksi timbul karena salah
satu Dalam tahapan penyelenggaraan bangunan, selain harus mengikuti peraturan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah juga harus mengikuti peraturan yang telah
disepakati bersama dan dituangkan dalam kontrak. Sengketa dapat terjadi di
antara pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak, dan sengketa yang terjadi harus
segera diselesaikan dan tidak menghambat tahapan penyelenggaraan bangunan.pihak
telah melakukan tindakan cidera (wanprestasi atau default).
Penyebab sengketa konstruksi dan jenis
penyelesaian serta lembaga penyelesaian sengketa konstruksi sebagai berikut:
1. Jenis sengketa
Jenis sengketa adalah perubahan kontrak
yang diminta (klaim) secara tertulis, yang diajukan oleh salah satu pihak pada
pihak lain sebagai kompensasi atas “kerugian” atau ketidaksesuaian implementasi
suatu kontrak konstruksi. Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai jenis sengketa,
jenis sengketa tersebut dikelompokkan menjadi 4 jenis sengketa yaitu:
a) Biaya:
· Perubahan nilai kontrak
· Perubahan harga satuan pekerjaan
· Perubahan nilai angsuran pembayaran
b) Waktu:
· Perubahan waktu kontrak
· Perubahan jadwal kegiatan
· Perubahan jadwal pembayaran
c) Lingkup
pekerjaan:
· Perubahan jenis pekerjaan
· Perubahan volume
· Perubahan mutu/kualitas
· Perubahan metode pelaksanaan konstruksi
d) Gabungan biaya, waktu dan lingkup
pekerjaan (jasa)
· Kombinasi perubahan biaya dan waktu
· Kombinasi perubahan biaya dan lingkup
pekerjaan
· Kombinasi perubahan waktu dan lingkup
pekerjaan
· Kombinasi perubahan biaya, waktu dan
lingkup pekerjaan
2. Penyebab
sengketa
Penyebab sengketa adalah sumber
timbulnya permintaan kompensasi secara tertulis atas “kerugian” atau
ketidaksesuaian implementasi suatu kontrak konstruksi oleh salah satu pihak
pada pihak lain. Sengketa dapat disebabkan oleh banyak hal, penyebab sengketa
tersebut dikelompokkan menjadi 9 (Sembilan) penyebab sengketa sebagai berikut:
a) Penyebab sengketa berkaitan dengan perizinan:
· Pemberian izin
· Permintaan izin
· Tidak adanya izin
b) Penyebab sengketa berkaitan dengan surat
perjanjian kerjasama (kontrak):
· Isi surat kontrak tidak jelas
· Isi surat kontrak tidak lengkap
c) Penyebab sengketa berkaitan dengan
persyaratan kontrak:
· Isi persyaratan kontrak tidak jelas
· Isi persyaratan kontrak tidak lengkap
d) Penyebab
sengketa berkaitan dengan gambar:
· Gambar rencana tidak jelas
· Gambar rencana tidak lengkap
· Gambar kerja tidak jelas
· Gambar kerja tidak lengkap
e) Penyebab sengketa berkaitan dengan
spesifikasi:
· Spesifikasi tidak jelas
· Spesifikasi tidak lengkap
· Perubahan spesifikasi
· Persyaratan spesifikasi tidak memungkinkan untuk
dilaksanakan
f) Penyebab sengketa berkaitan dengan Rencana
Anggaran Biaya (RAB):
· RAB tidak jelas
· RAB tidak lengkap
Pengukuran hasil pekerjaan
g) Penyebab sengketa berkaitan dengan
administrasi kontrak:
· Berita acara
· Laporan
· Foto/film
h) Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi
lapangan:
· Kondisi lapangan tidak sesuai denngan kontrak
· Perubahan kondisi lapangan
· Kondisi lapangan tidak memungkinkan
i) Penyebab sengketa berkaitan dengan kondisi
eksternal:
· Perubahan kebijakan pemerintah
· Perubahan harga atau biaya
· pendanaan
3. Jenis penyelesaian sengketa
Secara umum jenis penyelesaian sengketa
di luar pengadilan (cara litigasi) yaitu (UU RI nomor 18 tahun 1999; UU RI nomor 30 tahun
1999)
a) Negosiasi
Negosiasi dapat diartikan sebagai suatu
upaya penyelesaian sengketa para pihak tanpa melalui proses peradilan dengan
tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis
dan kreatif. Negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga namun memerlukan orang
yang tepat untuk bernegosiasi.
b) Mediasi
Mediasi adalah upaya penyelesaian
sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersifat
netral, dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak tetapi
menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antar pihak dengan suasana
keterbukaan, kejujuran dan tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.
c) Konsiliasi
Konsiliasi adalah upaya penyelesaian
sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak dengan menyerahkannya
kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang
bertindak sebagai konsiliator. Peranan konsiliator yaitu menyusun dan
merumuskan upaya penyelesaian untuk ditawarkan kepada para pihak.
d) Arbitrase
Arbitrase adalah perjanjian perdata
dimana para pihak sepakaat untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara
mereka yang mungkin akan timbul dikemudian hari yang diputuskan oleh seorang
ketiga, atau penyelesaian sengketa oleh seorang atau beberapa orang wasit
(arbitrator) yang bersama-sama ditunjuk oleh pihak yang berperkara dengan tidak
diselesaikan melalui pengadilan tetapi secara musyawarah dengan menunjukan
pihak ketiga, hal mana dituangkan dalam salah satu bagian dari kontrak. Badan
arbitrase terdiri dari arbitrator yaitu pengacara, kontraktor, konsultan
(engineer) dan konsultan hakim. Arbiter harus memiliki pengetahuan bidang
konstruksi dan memahami permasalahan sengketa yang dihadapi.
4. Lembaga
penyelesaian sengketa
Lembaga penyelesaian sengketa adalah
lembaga yang dapat membantu menyelesaikan sengketa yang terjadi. Lembaga
penyelesaian sengketa menurut Soekirno, 2006; Widjaja, 2002; Emirzon, 2001;
Margono, 2000 yang dikutip dari Mutiara, 2006 adalah sebagai berikut:
1.
Negosiator
2.
Mediator
3.
Konsiliator
4.
Lembaga
Arbitrase
PENYELESAIAN
SENGKETA TAMBANG: STUDI KASUS SENGKETA ANTARA MASYARAKAT SAMAWA DENGAN PT.
NEWMONT
NUSA TENGGARA
- Latar Belakang Masalah
Provinsi Nusa Tenggara Barat
merupakan provinsi yang kaya akan sumber daya alam
tambang. Sumber daya alam itu, meliputi emas, tembaga, perak, dan
lain-lain. Sumber daya alam itu terdapat di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat
dan Elang Dodo, Kabupaten Sumbawa. Untuk mengelola sumber daya alam tambang
itu, Pemerintah telah menunjuk PT. Newmont
Nusa Tenggara, sebagai kontraktor pemerintah. Penunjukan itu didasarkan atas
dokumen kontrak karya yang telah ditandatangani pada
tanggal 2 Desember 1986. Kegiatan
eksplorasi di Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat telah dilakukan sejak
ditandatanganinya kontrak karya dan mulai berproduksi sejak tahun 2000. Luas
wilayah eks- ploitasinya 51.932,23 ha, sementara itu kegiatan eksplorasi di
Elang Dodo telah dilakukan sejak tahun 2004. Wilayah eksplorasinya seluas
16.568,54 ha.
Keberadaan PT. Newmont Nusa
Tenggara
dalam melakukan kegiatan eksplorasi, konstruksi dan
eksploitasi di wilayah kontrak karya Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat dan
Elang Dodo, Kabupaten Sumbawa telah dapat dirasakan manfaatnya baik bagi
masyarakat setempat, Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Namun demikian
pelaksanaan kegiatan eksplorasi
maupun eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Newmont
Nusa Tenggara tidak selamanya berjalan dengan baik. Karena banyaknya terjadi
sengketa. Sengketa tersebut adalah sengketa antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan sengketa
antara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, yang berkaitan dengan divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara sebesar 7%.
Penelitian yang
mengkaji tentang faktor
penyebab terjadinya sengketa dan pola penye- lesaian
sengketa antara masyarakat etnis Samawa
dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara belum pernah dilakukan, namun yang pernah diteliti adalah
berkaitan dengan status hukum hutan yang
digunakan di kawasan hutan Elang Dodo, Sumbawa. Hutan Elang Dodo adalah hutan
negara.1
Dengan demikian,
penelitian tentang faktor penyebab terjadinya sengketa dan pola
penyelesaian sengketa ini merupakan penelitian yang layak untuk dikaji secara
mendalam, karena dari hasil penelitian ini nantinya mempunyai nilai strategis secara nasional, bahkan
internasional. Hasil penelitian ini berguna untuk memecahkan masalah yang
terjadi antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah
Indonesia/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber daya alam tambang
dapat berjalan dengan baik, dan PT. Newmont Nusa Tenggara dapat melaksanakan
hak dan kewajiban sebagaimana yang tercantum dalam dokumen kontrak karya.
Sengketa pertambangan di Indonesia
sudah
terjadi sejak tahun 1967, yaitu pada saat dilaku- kan
kegiatan pertambangan di Papua oleh PT. Freeport
Indonesia. Jenis sengketa yang terjadi meliputi, sengketa hak atas tanah,
lingkungan, dan kekerasan.2 Penelitian
yang dilakukan oleh Iskandar Zulkarnain, dari LIPI pada pertambang- an emas di
Pongkor, tambang batu bara di Kalimantan Selatan dan tambang timah di Bangka Belitung. Hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa:
Ada
3 aktor utama
yang terlibat dalam
melahir- kan konflik di
daerah pertambangan Pongkor dan Cikotok. Ketiga sumber itu, meliputi pe-
rusahaan pertambangan (PT. Aneka
Tambang) Tbk., masyarakat
lokal, dan penggali liar
(Peti). Berdasarkan pada ketiga aktor utama
itu, maka ada 3 jenis konflik yang terjadi di daerah pertambangan. Ketiga jenis konflik itu, meliputi (1)
konflik antara perusahaan versus
masyarakat, (2) konflik antara peru- sahaan
dengan Peti, dan (3) konflik antara masyarakat
lokal dengan Peti. Ada 5 faktor penyebab timbulnya konflik antara perusaha- an dengan
masyarakat, yaitu (1) komuni- kasi yang mandeg antara perusahaan dan
masyarakat, (2) berkurangnya lahan garapan masyarakat akibat berpindahnya kepemi- likan, (3) sistem penerimaan tenaga kerja yang
nepotisme, (4) program pengembangan masyarakat (community development) yang parsial, dan
(5) adanya gap antara
aparat pemerintah dengan perusahaan. Ada 4 alasan yang dapat dikategorikan
sebagai sumber konflik antara perusahaan dengan Peti, yakni
(1) permainan aparat keamanan, (2) Peti lokal berhak untuk ikut melakukan
eksploitasi,
(3) Peti pendatang merasa berani melaku- kan eksploitasi, dan (4) perbedaan persepsi antara perusahaan dan aparat pemerintah. Ada
3 faktor yang dianggap sumber konflik dalam
konflik antara masyarakat dengan Peti, yakni (1) Peti pendatang dan jaringannya
menguasai lahan masyarakat, (2) Peti pen- datang dan jaringannya melakukan
tindakan kekerasan kepada masyarakat, (3) adanya
perlawanan dari masyarakat terhadap Peti pendatang.3
Konflik serupa juga terjadi
di Filipina, seperti diungkapkan William Holden:
The
Philippines is a developing country well- endowed with mineral resources. In recent years, the government has made
substantial efforts to encourage the exploitation of these resources. This mining-based development paradigm has
come into conflict with the in- digenous
peoples of this nation. This conflict has entailed disputes between the mining
industry and indigenous peoples about the validity of the
Philippines indigenous peoples
rights legislation and alleged human rights abuses on the behalf of the mining
industry. The Philippines strong civil society has as- sisted the indigenous peoples
in regard to this conflict. Possible solutions to this
conflict are examined.4
Apabila dikaji pendapat di atas, bahwa konflik
itu terjadi antara perusahaan tambang dengan masyarakat adat atau pribumi. Hal
ini disebabkan karena perusahaan tambang tidak memperhatikan hak-hak masyarakat
adat yang telah ditentukan dalam undang-undang dan pelanggaran terhadap hak-hak
asasi manusia atas nama industri tambang. Hal ini bertentangan dengan Artikel
57 the Philippine Mining Act of 1995 menentukan
bahwa kewajiban kontraktor adalah membantu memajukan masyarakat yang berada di
lingkar tambang, meningkatkan kesejahteraan penduduk, dan memajukannya dalam
bidang ilmu pengeta- huan dan teknologi tambang. Namun, dalam realitasnya perusahaan
tambang yang ada di Philipina kurang memperhatikan
hak-hak masyarakat lokal.
Hasil penelitian lain tentang
sengketa tam-
bang dikemukakan José G. Vargas-Hernández. Sengketa
tambang ini terjadi di Mexico. Ia mengemukakan bahwa:
Keberadaan perusahaan tambang
telah me-
nyebabkan konflik sosial yang buruk, antara penghuni San
Pedro, mengisyaratkan bahwa semua orang yang mempunyai perhatian (consent) terhadap warisan sejarah,
budaya dan isu-isu lingkungan. Keberadaan per- usahaan telah merusak lingkungan
hidup, keanekaragaman hayati, dan kesehatan pen- duduk.5
Jenis sengketa tambang yang
terjadi di Mexico ini adalah kurangnya perhatian
perusahaan tam- bang terhadap
kerusakan lingkungan, keaneka- ragaman hayati, dan kesehatan penduduk.
Yang menjadi fokus penelitian ini adalah bagaimana pola penyelesaian sengketa,
jika terjadi sengketa antara
masyarakat dengan perusahaan tambang dan antara pemerintah pusat/pemerintah
daerah dengan PT. Newmont Nusa
Tenggara. Pada garis besarnya, ada dua cara penyelesaian sengketa, yaitu
melalui jalur pengadilan dan di
luar pengadilan. Litigasi
adalah penyelesaian yang terjadi
antara pihak di pengadilan.
Pola penyelesaian sengketa di luar
pengadil- an adalah menggunakan ADR (alternative
dispute resolution) atau alternatif penyelesaian
sengketa (APS) adalah sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi
memberikan alternatif atau pilihan suatu cara penyelesaian sengketa.6
Ralf Dahrendorf berpendapat bahwa
masya- rakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan konsensus. Oleh karena itu,
Ia berpendapat bahwa teori sosiologi
harus dibagi menjadi dua bagian, yaitu teori konflik dan teori konsensus. Teori konflik menganalisis konflik
kepentingan dan penggunaan kekerasan
yang mengikat masyarakat bersama di
hadapan tekanan itu. Sementara itu, teori konsensus menguji nilai integrasi dalam masyarakat.7 Randall Collins merupakan tokoh penting dalam membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif. Teori konflik
integratif Randall Collins lebih menekankan pada analisis mikro. Ia
mengemukakan bahwa:
Kontribusi
utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro
terhadap teori yang bertingkat makro ini. Analisis- nya difokuskan pada
stratifikasi sosial dan organisasi. Stratifikasi dan organisasi ini didasarkan
pada interaksi kehidupan sehari- hari.8
Simon Fisher yang mengkaji dan
mengana- lisis faktor penyebab terjadinya konflik. Fisher mengemukan bahwa
penyebab terjadinya konflik adalah adanya:9
a)
Polarisasi (kelompok yang berlawanan)
yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di
antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat;
b)
Posisi-posisi yang tidak
selaras dan perbeda-an pandangan tentang
konflik oleh
pihak-pihak
yang mengalami konflik;
c)
Kebutuhan dasar
manusia, baik fisik, mental, dan sosial
yang tidak terpenuhi atau dihalangi;
d)
Identitas
yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu
atau penderitaan di masa lalu yang tidak diselesaikan;
e)
Masalah-masalah
ketidaksetaraan dan ke- tidakadilan yang muncul sebagai masalah- masalah sosial, budaya dan ekonomi;
f)
Ketidakcocokan
dalam cara-cara komuni- kasi di antara
berbagai budaya yang berbeda-beda.
Dean
G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, serta Nader dan Todd mengemukakan teori tentang
strategi penyelesaian konflik. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan
5 strategi dalam penyelesaian sengketa/konflik. Kelima strategi itu, meliputi:10
a) contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi
yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak
lainnya;
b) yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan;
c) problem solving (pemecahan masalah), yaitu mencari alternatif yang memuaskan aspirasi kedua
belah pihak;
d) with drawing
(menarik diri),
yaitu memilih meninggalkan
situasi konflik, baik secara fisik maupun psikologis; dan
e) inaction (diam), yaitu tidak
melakukan apa- apa.
Nader dan Todd juga mengemukakan
7 cara penyelesaian sengketa. Ketujuh cara itu, meliputi:11
a)
membiarkan
saja atau lumping it;
b)
mengelak (avoidance);
c) paksaan atau coercion;
d)
perundingan (negotiation);
e)
mediasi (mediation);
f)
arbitrase; dan
g)
peradilan, adjudication.
Dari ketujuh cara ini, maka dapat
dibagi menjadi tiga cara penyelesaian sengketa, yaitu tradisional, ADR, dan
pengadilan. Yang termasuk cara
tradisional adalah membiarkan saja atau lumping it, mengelak (avoidance) dan paksaan. Penelitian ini
akan menganalisis penyelesaian sengketa yang terjadi dengan masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pe-
merintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara, apakah menggunakan negosiasi, mediasi, arbitrase, mengelak, peng- adilan, dan lain-lain. Ke semua
cara-cara ini yang akan diteliti dan
dikaji secara mendalam, hasil penelitian ini akan dirumuskan sebuah model
penyelesaian sengketa yang menyeluruh dan paling tepat untuk digunakan dalam
rangka mengakhiri sengketa yang timbul antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara
Pemerintah Pusat/ Pemerintah Daerah dengan PT.
Newmont Nusa Tenggara. Dari uraian di atas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan timbulnya
sengketa antara masyarakat, (2) Samawa dengan PT.
Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, dan (3)
Bagaimanakah pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara masyarakat Samawa
dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan
antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan gabungan
dari penelitian normatif dan penelitian antropologi hukum. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian in, yaitu data kepustakaan dan lapangan. Data kepustakaan dalam ilmu hukum dapat dibedakan
menjadi 3 macam bahan hukum, yaitu
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Data primer merupakan data yang
berasal dari data lapangan. Sampel
utama dalam penelitian ini adalah para
pihak yang bersengketa. Pihak yang bersengketa adalah antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah
dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.
Jumlah sampel yang dipilih
sebanyak 70 orang.
Penelitian dilakukan di Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat,
Mataram, dan Jakarta. Teknik yang
digunakan dalam pengumpulan data ke- pustakaan
adalah menggunakan studi dokumen. Teknik yang
digunakan untuk pengumpulan data lapangan
adalah wawancara mendalam (depth
interview) dengan para responden. Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah analisis
kualitatif. Hal-hal yang akan dianalisis, meliputi faktor penyebab terjadinya
sengketa dan cara untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara masyarakat
etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa
Tenggara dan antara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa Tenggara.
C. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa antara
Masyarakat Etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan
antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara
Sengketa di bidang pertambangan
merupa- kan sengketa atau konflik atau pertentangan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan per- tambangan. Kegiatan pertambangan
meliputi kegiatan untuk melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, eksploitasi,
pemurnian dan penjualan terhadap sumber daya alam, yang berupa mineral,
kumpulan mineral, batuan, bijih maupun batu bara.
Kelima kegiatan itu tidak selalu
dapat dilaksanakan dengan baik oleh kontraktor yang ditunjuk. Dalam pelaksanaan
kegiatan tambang, kontraktor yang ditunjuk selalu menimbulkan masalah. Masalah
itu tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan kontraktor, tetapi juga
terjadi antara Pemerintah dengan kontraktor. Pada tanggal 2 Desember 1986,
Pemerintah Indonesia telah menunjuk PT. Newmont Nusa Tenggara sebagai kontraktor
untuk melakukan kegiatan penambangan di wilayah Batu
Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat dan Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten
Sumbawa. Penambangan yang dilaksanakan tidak selalu berjalan dengan baik,
karena selalu mendapat hambatan dari masyarakat sekitar area penambangan maupun
dari pemerintah daerah. Berdasarkan hasil penelitian
yang penulis lakukan, baik di wilayah Batu Hijau Kabupaten Sumbawa Barat,
wilayah Elang Dodo, Kecamatan Ropang Kabupaten Sumbawa, maupun di Kota Mataram,
maka ada 5 jenis sengketa yang terjadi
antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia
dengan PT. Newmont Nusa
Tenggara. Kelima jenis sengketa itu, meliputi sengketa wilayah kontrak karya
(44%), sengketa program community
development (Comdev) PT. Newmont
Nusa Tenggara (57%), sengketa hak atas tanah (1%), perusakan rumah kepala desa
Ropang (9%), dan divestasi saham (10%). Dari kelima jenis
sengketa itu, maka yang akan dianalisis dalam penelitian ini hanya
sengketa wilayah kontrak karya, sengketa program Comdev PT. Newmont Nusa Tenggara, dan divestasi saham. Ketiga jenis
sengketa itu, disajikan berikut ini.
a)
Sengketa
Wilayah Kontrak Karya
Sengketa wilayah kontrak karya
merupakan sengketa yang terjadi antara perusahaan tambang dengan masyarakat yang berada di sekitar wilayah kontrak karya
(44%). Para pihak
yang bersengketa, yaitu
masyarakat desa Labangkar dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara. Yang menjadi objek
sengketa ini adalah wilayah kontrak karya yang digunakan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan
kegiatan eksplorasi di wilayah kontrak karya Elang Dodo, Kecamatan Ropang
seluas 16.568,54 ha. Faktor penyebab terjadinya sengketa wilayah kontrak karya
yang digunakan oleh PT. Newmont Nusa
Tenggara untuk melakukan kegiatan eksplorasi, disajikan dalam tabel 1.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
se-
banyak 25 orang responden atau 83%, berpen- dapat bahwa
faktor penyebab timbulnya sengketa antara masyarakat Desa Lebangkar dengan PT.
Newmont Nusa Tenggara adalah karena belum dipenuhinya permintaan ganti rugi
oleh PT. Newmont Nusa Tenggara. Alasan masyarakat meminta ganti rugi kepada PT.
Newmont Nusa Tenggara karena wilayah kontrak karya yang digunakan oleh PT.
Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan kegiatan eksplorasi di wilayah kontrak
karya Elang Dodo, Kecamatan Ropang seluas 16.568,54 ha merupakan tanah adat
yang ditinggalkan oleh leluhur mereka 77 tahun yang lalu.
Sebanyak 3
orang responden (12%) berpendapat bahwa faktor penyebab terjadinya sengketa antara
masyarakat Labangkar dengan
No. Faktor Penyebab Sengketa
Wilayah
Kontrak Karya
Responden
(orang)
Persentase (%)
1.
Ganti rugi hak atas tanah di Elang 25 83
Dodo (wilayah KK)
|
|
|
2. Status
wilayah Elang Dodo
|
3
|
12
|
3. Pemerintah terlalu dekat dengan
perusahaan
|
1
|
4
|
4. PT. NNT
tidak pernah masuk ke masyarakat
|
1
|
4
|
Total
|
30
|
103%
|
PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena status hukum wilayah
Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa. Dengan demikian, ditinjau dari
segi hukum adat, warga Lebangkar dan warga lainnya sebagai individu yang
mempunyai hubungan emosional dengan warga Lebangkar tidak lagi berhak
atas tanah yang sudah
membelukar itu, tetapi warga Lebangkar sebagai suatu komunitas desa
(masyarakat) tetap berhak terhadap tanah di wilayah Elang Dodo (tanah komunal
desa).
b) Sengketa
Program Community Develop- ment PT. Newmont Nusa Tenggara Sengketa
program community development
merupakan sengketa yang terjadi antara masya- rakat
lingkar tambang, terutama masyarakat
Desa Ropang, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara berkaitan dengan
tidak dipenuhinya usulan proposal
senilai Rp10 milyar. Faktor penyebab terjadinya sengketa antara masyarakat Desa
Ropang, Kecamatan Ropang,
Kabupaten Sumbawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, disajikan dalam
tabel 2 berikut ini.
Penyebab utama timbulnya sengketa
antara masyarakat Desa Ropang, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara adalah
karena tidak dipenuhinya
permintaan masyarakat terhadap proposal yang diajukan oleh masyarakat Desa Ropang
kepada PT. Newmont Nusa Tenggara.
Nilai proposal yang diajukan oleh masyarakat desa Ropang
sebanyak Rp10 milyar. Uang sebanyak itu
digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pertanian,
dan pelatihan tenaga kerja. Akibat dari tidak dipenuhinya permintaan
itu, maka masyarakat telah melakukan pembakaran base camp PT. Newmont
Nusa Tenggara di Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten Sumbawa pada tanggal
19 Maret 2006.
Dari hasil wawancara dengan
Asraruddin
Rahman, bahwa faktor penyebab masyarakat melakukan
pembakaran base camp PT. Newmont Nusa
Tenggara adalah karena tidak dipenuhi substansi kontrak karya sosial oleh PT.
Newmont Nusa Tenggara. Inti kontrak karya sosial itu, meliputi: (1) Masyarakat
desa Ropang dapat berpartisipasi sebagai tenaga kerja lokal dalam pelaksanaan
eksplorasi dan eksploitasi PT. Newmont Nusa Tenggara; dan (2) Dipenuhinya
proposal senilai Rp10 milyar.
Di samping itu, Asraruddin Rahman,
berpendapat bahwa faktor penyebab terjadinya pembakaran base camp PT. Newmont Nusa Tenggara adalah: (1) Tidak adanya
komunikasi antara masyarakat Desa Ropang, Kecamatan
Tabel 2. Faktor Penyebab Sengketa antara
Masyarakat Ropang dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (n=40)
No. Faktor Penyebab Sengketa antara Masyarakat
Ropang dengan PT. NNT
Responden
(orang)
Persentase
(%)
1.
Tidak
dipenuhinya permintaan proposal Rp10
milyar
34 100
2. Kecemburuan
tenaga kerja
|
|
3
|
9
|
3. Tidak
transparan pemerintah
|
|
1
|
3
|
4. Pengaruh
dari luar desa Ropang
|
|
1
|
3
|
5. Kekecewaan
masyarakat terhadap
|
PT.
|
2
|
6
|
NNT
karena tidak dijumpai di base camp
PT. NNT di Elang
6. Pernyataan bupati yang menghina 2 6
masyarakat
Total 43 127%
Sumber: Data Primer Diolah
(2009),
Ropang, Kabupaten Sumbawa
dengan Pemerintah Daerah
Sumbawa dan PT. Newmont Nusa
Tenggara; (2) Tidak adanya penjelasan tentang pemanfaatan tenaga kerja lokal
dalam pelaksana- an kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi; (3) Tidak dipenuhinya permintaan proposal yang telah diajukan oleh masyarakat, pada
hal PT. Newmont Nusa Tenggara telah
meminta kepada masyarakat untuk mengajukan proposal dengan nilai proposalnya Rp10 milyar; (4) Tidak transparannya PT. Newmont Nusa Tenggara tentang
program-program pengembangan yang akan
dilakukan, baik pada kegiatan eksplorasi maupun eksploitasi; dan (5) Tidak
adanya penjelasan dari PT. Newmont
Nusa Tenggara tentang dampak negatif dan positif dari kegiatan pertambangan.
Pelaksanaan program pengembangan
masya-
rakat bagi masyarakat yang berada di daerah lingkar tambang
Elang Dodo, Kecamatan
Ropang, Kabupaten Sumbawa belum dilakukan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara, ini disebabkan wilayah kontrak karya Elang Dodo, masih dalam tahap kegiatan eksplorasi, yaitu tahap untuk menentukan secara detail kandungan emas, tembaga dan perak.
Biasanya pelaksanaan program pengembangan masyarakat
PT. Newmont Nusa Tenggara baru
dilakukan pada saat dilakukan kegiatan
konstruksi dan eksploitasi.
c)
Sengketa
Divestasi Saham
Sengketa divestasi saham merupakan
seng- keta yang terjadi antara perusahaan tambang dengan pemerintah
pusat/pemerintah daerah yang berkaitan dengan divestasi saham. Timbulnya
seng-keta ini adalah disebabkan karena ketidak-
sepakatan antara perusahaan tambang dengan pemerintah
pusat/pemerintah daerah tentang cara- cara
pembayaran harga saham yang ditawarkan oleh perusahaan tambang. Perusahaan
tambang menginginkan pembayaran dengan menggunakan pinjaman yang berasal dari
perusahaan tambang itu sendiri dan berdasarkan prinsip business to business, sementara Pemerintah Pusat, khususnya
Pemerintah Provinsi/Kabupaten menginginkan pembayaran harga saham menggunakan
uang pihak ketiga. Berdasarkan hasil
penelitian dengan responden, maka yang menjadi penyebab timbulnya
sengketa divestasi saham, disajikan dalam tabel 3 berikut ini.
Dalam dokumen kontrak karya yang
telah
dibuat dan ditandatangani antara Pemerintah Indonesia
dengan PT. Newmont Nusa Tenggara pada
tanggal 2 Desember 1986 telah diatur
dan ditentukan kewajiban PT. Newmont
Nusa Tenggara. Salah satu kewajiban dari PT. Newmont
Nusa Tenggara adalah melakukan divestasi saham yang dikuasinya kepada Pemerintah Indonesia atau
masyarakat Indonesia atau perusahaan Indonesia. Divestasi saham dimaknakan
sebagai pengalihan saham yang dimiliki oleh investor asing kepada Pemerintah
Indonesia, warga negara Indonesia atau
perusahaan Indonesia yang dikendalikan
oleh warga negara Indonesia.
Perintah untuk
melakukan divestasi saham
PT. Newmont Nusa Tenggara telah ditentukan dalam Pasal 79 huruf y Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara, Peraturan Pemerintah
Nomor
23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
Dan Batubara,
Tabel 3. Faktor Penyebab Sengketa
Divestasi Saham (n= 7)
No. Faktor Penyebab Sengketa
Divestasi Saham
|
Jumlah Responden
(orang)
|
Persentase
(%)
|
1. Tidak
konsisten PT. NNT dalam pelaksanaan KK
|
4
|
57
|
2. Adanya
pihak ketiga
|
3
|
43
|
Total
|
7
|
100
|
Sumber: Data Primer Diolah
(2009).
serta Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam ketentuan itu, diatur
tentang peserta dan jumlah saham yang harus ditawarkan kepada peserta
Indonesia. Peserta Indonesia yang dapat membeli saham yang didivestasikan itu, meliputi: Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta
nasional. Jumlah saham yang
wajib ditawarkan sebanyak 51%.
Di samping itu, ketentuan tentang
divestasi
diatur dalam Pasal 24 ayat (3) sampai dengan ayat (6) Kontrak Karya.
Dalam ketentuan itu telah
diatur tentang peserta penawaran, jumlah saham yang akan ditawarkan, cara-cara
melakukan penawaran, dan besarnya harga saham yang
ditawarkan. Saham yang dimiliki oleh PT.
New- mont Nusa Tenggara
akan ditawarkan untuk
dijual atau diterbitkan kepada Pemerintah Indonesia, warga negara
Indonesia; atau perusahaan Indo- nesia
yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia. Jumlah saham yang ditawarkan kepada peserta Indonesia telah
ditentukan dalam Pasal 24 ayat (5)
Kontrak Karya. Jumlah saham yang ditawarkan kepada peserta Indonesia sebanyak
31%.
Para responden berpendapat bahwa
dengan
adanya ketentuan itu, maka kewajiban
utama dari PT. Newmont Nusa Tenggara adalah
mengalihkan saham yang dimilikinya kepada pemerintah Indonesia/pemerintah
daerah, namun, PT. Newmont Nusa Tenggara sendiri membuat
persyaratan-persyaratan yang sangat sulit untuk dipenuhi oleh pemerintah
Indonesia/pemerintah daerah.
PT. Newmont Nusa Tenggara telah menawarkan 2
cara untuk membeli
saham yang ditawarkan kepada
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan
Kabupaten Sumbawa, yaitu:
(1) Perjanjian jual beli saham; dan (2) Perjanjian pinjaman
uang.
Dari tawaran di atas, nampak bahwa PT. Newmont
Nusa Tenggara menyetujui untuk menjual
saham kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan Pemerintah Kabupaten
Sumbawa, namun, uang yang digunakan untuk membeli saham itu berasal dari
pemegang saham asing PT. Newmont Nusa Tenggara, yaitu Newmont Indonesia Limited dan Nusa Tenggara
Mining Corporation. Besarnya pinjaman yang diberikan kepada Perseroan Terbatas bentukan Pemerintah
Daerah disesuaikan dengan jumlah saham yang dibelinya. Pinjaman ini bersifat non- recourse, dalam arti bahwa pengembalian
hanya akan berasal dari
dividen dan segala
hak yang berasal dari saham PT. Newmont
Nusa Tenggara.
Tawaran sistem pembayaran saham
yang
diajukan oleh PT. Newmont
Nusa Tenggara kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah
Kabupaten Sumbawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa itu ditolak oleh
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat,
sementara Pemerintah Kabupaten Sumbawa menerima tawaran yang disampaikan
oleh PT. Newmont Nusa Tenggara.
Alasan Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa
Barat untuk menolak tawaran yang disampaikan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena
mereka akan membayar harga saham dengan
cara kontan. Namun, uang yang digunakan untuk pembayaran saham itu
berasal dari PT. Bumi Resources Tbk.
Hal ini didasarkan pada MoU yang dibuat
dan ditandatangani pada tanggal 16
Maret 2007 antara PT. Bumi Resources
Tbk, Gubernur Nusa Tenggara Barat dan Bupati Sumbawa. Isinya MoU tersebut untuk
membeli saham 3% dari PT. Newmont
Nusa Tenggara. Di samping itu, PT. Bumi
Resources Tbk., Gubernur Nusa Tenggara Barat dan Bupati Sumbawa akan membentuk perusahaan daerah yang akan dimiliki
oleh Pemerintah Daerah.
Tawaran yang disampaikan oleh PT. New- mont Nusa Tenggara dengan sistem pinjaman uang kepada
pemilik modal asing PT. Newmont Nusa
Tenggara kepada Pemerintah Provinsi Nusa
Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat ditolak oleh kedua pemerintah tersebut. Tanggal 30 November 2007, PT. Newmont Nusa Tenggara menawarkan sistem
penjualan saham kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah
Kabupaten Sumbawa Barat dengan sistem business
to business. Syarat penjualan
saham dengan sistem business
to business, meliputi: (1) Para penjualnya, yaitu Newmont Indonesia Limited dan
Nusa Tenggara
Mining; (2) Corporation;
dan (3) Pembelinya suatu Perseroan
Terbatas (PT) yang 100% sahamnya dimiliki
oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan
Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat.
Sistem penjualan saham yang ditawarkan oleh
PT. Newmont Nusa Tenggara juga ditolak oleh Pemerintah
Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, karena
syarat itu sangat sulit untuk dipenuhi oleh kedua pemerintah tersebut.
Ini disebabkan karena
dengan sistem penjualan saham
dengan cara business to business,
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat
harus menyiapkan sejumlah uang kontan yang berasal dari kedua pemerintah
tersebut. Untuk membeli saham senilai 3%, maka pembeli saham harus menyiapkan
dana sebanyak Rp1,3 triliun. Dana sebanyak itu sangat sulit untuk dipenuhi oleh
Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat.
2.
Pola
Penyelesaian Sengketa antara Masya-
rakat Etnis Samawa dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara dan antara Pemerintah
Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara
Dari hasil penelitian yang penulis
lakukan diketahui bahwa sengketa yang terjadi antara masyarakat etnis Samawa
dengan PT. Newmont Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT.
Newmont Nusa Tenggara diselesai- kan dengan menggunakan hukum Negara, hukum
adat, dan arbitrase internasional. Pendapat responden tentang hal itu,
disajikan dalam tabel berikut ini:
Hukum Negara dituangkan dalam bentuk
undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, dan seterusnya.
Masyarakat mengingin- kan setiap ada masalah dalam pelaksanaan kontrak karya PT. Newmont Nusa Tenggara harus menggunakan hukum yang dibuat oleh
Negara karena hukum Negara mengandung sanksi bagi para pelanggar. Bahkan mereka
berpendapat setiap kejahatan harus dihukum dengan seberat- beratnya, sehingga
menimbulkan perasaan takut bagi
masyarakat yang lainnya. Apabila terjadi sengketa perdata antara PT. Newmont Nusa Tenggara dengan masyarakat
juga harus menggunakan hukum Negara. Hukum Negara yang mengatur tentang
penyelesaian sengketa, meliputi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
dan Pasal 154 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral
dan Batubara. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif
Tabel 4. Pola Penyelesaian Sengketa (n=70)
No.
|
Pola
Penyelesaian Sengketa
|
Jumlah
Responden
|
Persentase
|
|
|
(orang)
|
(%)
|
1.
|
Hukum Negara
|
3
|
4%
|
2.
|
Hukum Adat
|
60
|
86%
|
3.
|
Arbitrase Internasional
|
7
|
10%
|
|
Total
|
70
|
100%
|
Sumber: Data Primer Diolah
(2009).
Penyelesaian Sengketa telah ditentukan lima cara penyelesaian sengketa di luar
pengadilan, yaitu dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau
penilaian ahli. Sedangkan di dalam
Pasal 154 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah
ditentukan dua cara penyelesaian sengketa, yaitu melalui pengadilan dan
arbitrase dalam negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang- undangan. Kedua cara penyelesaian
sengketa itu digunakan
untuk mengakhiri sengketa
yang timbul di dalam pelaksanaan IUP (Izin
Usaha Pertambangan), IPR (Izin Pertambangan Rakyat), dan IUPK (Izin
Usaha Pertambangan Khusus).
Penggunaan hukum Negara dalam
penye-
lesaian sengketa pertambangan karena mem- berikan kepastian hukum tentang hak dan kewajib- an antara masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Sementara itu,
pandangan masyarakat yang paling dominan tentang cara penyelesaian sengketa antara masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara (85%) adalah
menggunakan hukum adat. Hukum adat merupakan kaidah- kaidah hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Dari hasil penelitian dengan responden, ditemukan
istilah-istilah yang dikenal dalam masyarakat untuk
mengakhiri sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, yang meliputi: Tumaq Barema,
Tumaq
basuan, Saling basabalong,
Basasai dan Yasasapah.
Istilah
tumaq barema atau tumaq basuan
mengandung pengertian yang sama. Tumaq ba- rema atau tumaq basuan artinya duduk bersama- sama (tokal barema) untuk menyelesaikan dan
mengakhiri sengketa yang timbul, baik antara masyarakat dengan
masyarakat maupun antara masyarakat
dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Cara seperti ini tidak
melibatkan pihak ketiga, melainkan para pihaklah yang menyelesaikan sendiri sengketa atau konflik yang terjadi di antara
mereka. Konsekuensi dari penyelesaian secara bersama-sama ini, maka yang berat atau ringan
dapat diselesaikan dengan adanya kekompakan masyarakat.
Dalam istilah masyarakat disebut dengan “teri
awan no akan ko tanah” artinya “awan”
atau langit tidak akan jatuh ke tanah kalau
masyarakatnya kompak dalam menyelesaikan masalah
secara bersama-sama.
Sementara itu,
istilah saling basabalong, basasai, atau
yasasapah mengandung makna setiap orang atau masyarakat yang
bersengketa atau konflik harus segera diperbaiki sehingga hubungan para pihak
menjadi baik. Penyelesaian dengan menggunakan cara saling basabalong, basasai, atau yasasapah ini melibatkan pihak ketiga,
seperti tokoh-tokoh masyarakat atau tokoh-tokoh agama. Saling basabalong, basasai, dan yasasapah
mirip dengan mediasi. Di samping itu, dalam masyarakat Ropang dikenal juga istilah “saling sariri lemah bariri“. Saling
sariri lemah bariri artinya setiap ada masalah harus saling segera untuk
diperbaikinya supaya menjadi baik.
Penyelesaian sengketa melalui
arbitrase inter-
nasional merupakan cara pengakhiran sengketa yang telah
disepakati antara Pemerintah Indonesia
dengan PT. Newmont Nusa
Tenggara. Kesepakatan ini
telah dituangkan dalam dokumen kontrak karya PT.
Newmont Nusa Tenggara. Cara
yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa itu adalah melalui lembaga Arbitrase
UNCITRAL di New York. Tujuan Pemerintah Indonesia mengaju-
kan gugatan melalui Arbitrase UNCITRAL di New York
adalah menjaga iklim investasi dan sikap
menghormati kontrak. Gugatan Pemerintah Indonesia diajukan pada tanggal 3 Maret
2008, sedangkan default dilakukan 11 Februari
2008. PT. Newmont Nusa Tenggara
diberi kesempatan perpanjangan waktu dua kali, yaitu masing- masing tanggal 22
Februari 2008. Bertindak sebagai arbiter dalam gugatan perkara divestasi ini
terdiri dari 3 arbiter, yakni Dr. Robert
Briner, Profesor M. Sonarajah dan Judge Stephen M. Scwebel.
Robert Briner merupakan arbiter independen,
yang berasal dari Swiss. Profesor
M Sonarajah dari
Singapura ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia. Sedangkan
arbiter Judge Stephen M. Scwebel berasal dari AS, mewakili Sumitomo Corporation
dan Newmont Corp.
Sidang perdana telah dilakukan pada
tanggal 10 Desember 2008 di Hotel JW Marriot Jakarta. Pada tanggal 31 Maret
2009, sidang arbitrase internasional di bawah
the UNCITRALArbitration Rule 1976 telah menetapkan putusan sebagai
berikut:
1) PT. Newmont Nusa Tenggara diwajibkan untuk menjamin bahwa saham yang akan dialihkan/dijual kepada Pemerintah Indonesia sesuai dengan Pasal 24 ayat
(3) Kontrak Karya adalah bebas dari gadai.
2) Mewajibkan PT. Newmont Nusa Tenggara
untuk melakukan divestasi saham:
a.
3% tahun
2006;
b.
7% tahun
2007
kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten
Sumbawa Barat dan Kabu-paten Sumbawa.
3) Mewajibkan PT. Newmont Nusa Tenggara
untuk mendivestasikan saham tahun 2008 sebesar 7% kepada Pemerintah Indonesia
atau Pemerintah Daerah
atau badan hukum Indonesia.
4) PT. Newmont Nusa Tenggara diberikan waktu jangka
waktu 180 hari,
sejak putusan untuk
melakukan divestasi saham kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Dengan adanya
putusan tersebut, tidak
ada alasan bagi PT. Newmont
Nusa Tenggara untuk menolak untuk
melakukan divestasi saham kepada
Pemerintah Republik Indonesia atau Pemerintah Daerah. Apabila dalam tempo 180
hari, divestasi tidak dapat dilakukan, maka
Pemerintah Republik Indonesia dapat mengakhiri kontrak karya yang telah dibuat antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan PT.
Newmont Nusa Tenggara.
D. Kesimpulan
Faktor penyebab terjadinya sengketa
antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara bervariasi. Faktor-faktor tersebut,
meliputi (1) belum dipenuhinya permintaan ganti rugi oleh PT. Newmont Nusa Tenggara (83%) dan (2)
belum jelasnya status hukum wilayah Elang Dodo, Kecamatan Ropang, Kabupaten
Sumbawa (12%). Penyebab utama timbulnya sengketa antara masyarakat Desa Ropang,
Kecamatan Ropang Kabupaten Sumbawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena tidak dipenuhinya
permintaan masyarakat terhadap
proposal yang diajukan oleh masyarakat Desa Ropang, Kecamatan Ropang,
Kabupaten Sumbawa kepada PT. Newmont
Nusa Tenggara (100%). Nilai proposal yang diajukan oleh masyarakat Desa Ropang sebanyak Rp10 milyar. Faktor
penyebab timbulnya sengketa divestasi saham antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara adalah karena
tidak konsistennya PT. Newmont Nusa
Tenggara dalam melaksanakan kontrak karya (57%) dan adanya pihak ketiga (43%).
Persepsi masyarakat tentang cara
atau pola
untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antara
masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont
Nusa Tenggara dan antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa Tenggara, meliputi hukum Negara (4%), hukum
adat (86%), dan arbitrase internasional
(10%). Pola penyelesaian sengketa
yang paling dominan adalah menggunakan hukum adat. Cara-cara itu, meliputi (1) tumaq barema atau tumaq
basuan, dan (2) saling basabalong atau
basasai atau yasasapah.